Di tengah gempuran modernisasi dan derasnya arus budaya luar, masyarakat Nagari Tanjuang Baliak Sumiso, Kabupaten Solok meneguhkan identitasnya dengan melestarikan “Mambayia Kaua Nagari", sebuah tradisi adat yang penuh makna dan nilai-nilai kearifan lokal. Digelar sekali dalam empat tahun, tradisi ini kembali digelar pada 28–31 Juli 2025, menyatukan unsur adat, agama, musyawarah, dan kebersamaan dalam satu rangkaian sakral. Dalam suasana haru dan khidmat, masyarakat berjalan bersama, memasak bersama, dan bermusyawarah untuk meneguhkan adat yang diwarisi dari nenek moyang mereka.
Menurut Herman, Kepala Jorong sekaligus Datuak Pangulu Dirajo, "Kegiatan Mambayia Kaua Nagari ini bukan sekadar tradisi, tapi juga penanda bahwa masyarakat masih memegang teguh akar adat dan nilai spiritual sebagai masyarakat Minangkabau," ujarnya.
Tradisi Mambayia Kaua Nagari dimulai dengan “Mengaji Tolak Bala” yang dilaksanakan pada 28 Juli. Sekitar 100 orang berjalan kaki dari Panyakatan menuju Batu Nyongah sambil bershalawat memohon perlindungan dan keselamatan bagi nagari. Keesokan harinya, berlangsung “Mambantai Kabau” di Rumah Batanduak, sebuah forum musyawarah tujuh datuk bersama Ikhlas Mandaro Alam sosok orang tua yang diyakini sebagai rajo dalam nagari guna membahas teknis pelaksanaan adat.
Sore harinya, dilaksanakan “Mandabiah Kabau”, yakni penyembelihan kerbau yang sebelumnya telah disepakati. Dagingnya lalu dibagikan kepada masyarakat untuk dimasak dan disantap keesokan harinya dalam tradisi “Makan Bajamba” di balai desa lambang persatuan dan kebersamaan antar warga.
Puncak dari kegiatan Mambayia Kaua Nagari ini adalah “Mangkaji Adat dan Mancancang Kapalo Kabau”, di mana para datuk penghulu adat bersama Ikhlas Mandaro Alam mengkaji ulang hukum adat, merumuskan pusaka, dan memperkuat aturan hidup di nagari. Tradisi ini ditutup dengan upacara “Batagak Gala”, pengangkatan gelar adat sebagai peneguhan struktur sosial di masyarakat.
"Tradisi ini adalah jantung kebudayaan kami. Masyarakat terlibat bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai pelaku aktif pelestari warisan leluhur,” lanjut Herman Kepala Jorong sekaligus Datuak Pangulu Dirajo.
Di balik suksesnya acara empat tahunan ini, ada kerja panjang dan penuh dedikasi dari panitia. Rasyidin, Ketua Panitia yang diberi gelar Ampang Batuah, menceritakan bahwa ia dipilih oleh tujuh datuk penghulu adat melalui musyawarah adat bersama Niniak Mamak. “Kami siapkan ini selama empat bulan, dengan rapat rutin setiap dua minggu. Dana yang digunakan sekitar Rp 35 juta sebagian besar dari swadaya dan sumbangan masyarakat,” jelasnya.
Persiapan yang dilakukan tidak hanya persiapan teknis semata, tetapi juga spiritual dan filosofis. Bagi panitia pelaksana, hal ini adalah kehormatan besar karena dipercaya mengawal salah satu warisan terpenting di nagari.
Pemerintah Nagari juga turut memberi perhatian penuh terhadap pelestarian tradisi ini. Andre, Sekretaris Nagari Tanjuang Baliak Sumiso, menyatakan bahwa dukungan pemerintah bukan hanya dalam bentuk materi. “Kami bantu secara materil, tenaga, dan pikiran. Karena ini bukan sekadar tradisi, tapi identitas dan kekuatan moral masyarakat kami,” ujarnya.
Andre menambahkan bahwa pelestarian adat adalah bagian penting dari pembangunan nagari yang berakar dan berbudaya. Ia berharap generasi muda dapat mengambil peran lebih besar ke depan dalam menjaga tradisi ini agar tidak luntur ditelan zaman.
Tradisi Mambayia Kaua Nagari bukan hanya milik generasi tua. Ia adalah warisan hidup yang layak dikenalkan kembali ke generasi muda terutama di era ketika banyak anak muda mulai kehilangan keterikatan dengan akar adat mereka.
Dengan pelibatan aktif masyarakat, musyawarah yang demokratis, hingga ritual sakral yang menyentuh batin, Mambayia Kaua Nagari berdiri tegak sebagai simbol kedaulatan budaya yang hidup dan berdenyut. Di tengah laju perubahan zaman, Tanjuang Baliak Sumiso Kabupaten Solok telah memberi contoh bahwa adat bukan sekadar masa lalu tapi kompas untuk menatap masa depan.
Penulis: Nofal Ramadhan