Jejak Langit di Tanah Minang: Menelusuri Sejarah Pesawat AT-16 Harvard di Museum Adityawarman

Padang, 02 Agustus 2025 - Langit mendung menaungi langkah ini saat memasuki halaman Museum Adityawarman, rumah bagi ribuan artefak sejarah dan budaya Minangkabau. Museum ini memang lebih dikenal sebagai tempat menyimpan warisan adat, pakaian tradisional, naskah kuno, serta pernak-pernik kebudayaan yang tak ternilai. Tapi hari itu, perhatian saya justru tertuju pada satu benda besar yang berdiri tenang di sisi halaman: sebuah pesawat tempur tua, AT-16 Harvard dengan nomor seri B-424.

Tak seperti koleksi lain yang terlindungi dalam ruang kaca, pesawat ini dibiarkan berdiri terbuka, seolah menjadi simbol keteguhan dan keberanian masa lalu. Meskipun catnya telah memudar dan logamnya mulai tergores usia, ada daya tarik yang tak bisa diabaikan. Ia seperti berdiri bukan hanya sebagai barang koleksi, tapi sebagai saksi bisu perjalanan panjang Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), dan sekaligus cermin atas kisah Indonesia yang belum banyak diketahui publik.

Dari informasi yang terpajang di dekat pesawat,  diketahui bahwa AT-16 Harvard merupakan pesawat latih buatan Amerika Serikat. Pesawat ini diproduksi untuk melatih para pilot sebelum mereka mengoperasikan pesawat tempur yang lebih kompleks. Namun di Indonesia, AT-16 Harvard mendapat peran yang lebih luas. Ia bukan hanya alat latihan, tapi juga digunakan dalam berbagai misi semi-operasional dan tempur, termasuk dalam operasi penumpasan gerakan separatis DI/TII dan PRRI/Permesta yang sempat mengancam integrasi nasional pada era 1950–1960-an.

Membayangkan pesawat ini pernah melintasi langit Indonesia dalam misi tempur sungguh menambah bobot sejarahnya. Bayangkan: pesawat dengan sistem manual, teknologi sederhana, dan bodi mungil ini pernah terlibat langsung dalam konflik bersenjata yang menentukan arah perjalanan bangsa. Bahkan, bisa jadi beberapa pilot pertama Indonesia yang diterjunkan ke medan operasi pernah duduk di balik kemudinya, menjalankan misi dengan semangat penuh risiko.

Kehadiran AT-16 Harvard B-424 di Museum Adityawarman bukan tanpa alasan. Pada tahun 1979, setelah AURI secara resmi berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU), pesawat ini diserahkan kepada pihak museum untuk dijadikan bagian dari koleksi sejarah. Sejak saat itu, ia tidak lagi terbang menembus langit, tapi berdiri sebagai pengingat akan perjuangan udara yang sering terlupakan.

Setelah mengelilingi badan pesawat, diketahui baling-balingnya tak lagi berputar, tapi tetap memancarkan aura kekuatan. Di balik kokpitnya yang sempit, saya membayangkan bagaimana seorang taruna muda AURI duduk, mengenakan helm sederhana, menatap langit Indonesia dengan campuran gugup dan semangat. Tak ada teknologi canggih, tak ada sistem otomatis. Semua mengandalkan keterampilan, latihan, dan keberanian.

Museum Adityawarman sendiri bisa dikatakan sebagai titik temu antara sejarah lokal dan sejarah nasional. Letaknya di jantung kota Padang menjadikannya mudah diakses, namun masih banyak yang belum menyadari bahwa di dalam dan luar bangunan rumah gadang itu tersimpan kisah-kisah penting dari masa lalu Indonesia. Bukan hanya kebudayaan Minang, tetapi juga jejak militer, perjuangan, dan identitas kebangsaan.

Selama mengamati pesawat itu, beberapa pengunjung lain berlalu-lalang. Anak-anak kecil berfoto di bawah sayapnya, sekelompok pelajar mencatat hal-hal yang mereka lihat, dan orang dewasa lebih banyak berlalu tanpa benar-benar membaca keterangan sejarahnya. Mungkin banyak dari kita belum benar-benar mengenal sejarah udara bangsa sendiri. Kita sering terjebak pada narasi perang darat, pada tokoh-tokoh besar, namun melupakan bagaimana angkasa pun dulu adalah medan perjuangan.

Sebagai seorang jurnalis, kami merasa terpanggil untuk menyuarakan ulang kisah-kisah yang tersembunyi seperti ini. Bahwa sejarah bukan hanya tentang pertempuran besar, tapi juga tentang alat sederhana yang mengubah arah zaman. AT-16 Harvard bukan hanya mesin tua, tapi juga simbol dari dedikasi, pengorbanan, dan tekad para pionir penerbang Indonesia.

Indonesia saat ini mungkin sudah memiliki pesawat-pesawat tempur modern, pilot-pilot profesional lulusan luar negeri, dan sistem pertahanan udara canggih. Tapi semua itu berakar dari masa ketika pesawat seperti B-424 ini menjadi satu-satunya tumpuan harapan.

Ketika meninggalkan Museum Adityawarman hari itu dengan perasaan kagum, haru, dan sekaligus miris. Kagum sebab Indonesia pernah memiliki sejarah udara yang membanggakan. Haru sebab banyak yang belum mengenalnya. Dan miris sebab pesawat itu berdiri tanpa banyak suara, diabaikan oleh lalu-lalang yang tak sempat berhenti merenung.

Jika ada satu hal yang kami pelajari dari kunjungan ini, itu adalah bahwa setiap potong besi, baling-baling, dan sayap yang kita lihat hari ini pernah menjadi bagian dari sejarah hidup. Tugas kita bukan hanya memeliharanya, tapi juga menghidupkannya kembali dalam ingatan dan cerita.

Dan mungkin, di sanalah tempat sesungguhnya sejarah hidup: bukan di dalam buku atau ruangan arsip, tetapi di halaman museum yang terbuka, tempat sebuah pesawat tua bernama AT-16 Harvard terus terbang dalam diam.

Penulis: Ghaza Alfatih