Cerita Pegawai Unand: Mereka yang Bekerja Tanpa Pamrih, Mendapatkan Gaji kecil dan Ketidakpastian Status Kerja

Sore yang cerah memancarkan sinar matahari di Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Seorang pria berpakaian sederhana duduk di pos satpam, melepas lelah sejenak setelah bekerja sejak pagi hari (23/4/2025). Namanya Haria Eko (46 tahun). Rambutnya mulai memutih, tetapi semangatnya mengabdi untuk kedjajaan bangsa tidak pernah pudar.

Ia mengabdi di kampus megah yang berdiri kokoh di atas Bukit Karamuntiang. Setiap pagi, ia datang dengan penuh harapan. Sore hari, ia pulang setelah urusan administrasi selesai dikerjakan. Kadang, setibanya di rumah, ia masih mendapatkan telepon dari mahasiswa dan dosen yang meminta bantuan. Kadang, ia juga bekerja di akhir pekan. Semua itu ia lakukan tanpa pamrih, tanpa tunjangan, tanpa kepastian status kerja.

“Saya sudah bekerja sebagai pegawai di Unand sudah hampir dua dekade. Tapi sampai hari ini, status saya tetap saja Pegawai Tidak Tetap,” ucap Eko, tersenyum, dengan penuh harapan.

Eko merupakan Ketua Asosiasi Pegawai Tidak Tetap (APTT) Universitas Andalas. Ia satu dari pegawai tidak tetap yang selama bertahun-tahun menopang aktivitas administratif kampus terbesar di luar Pulau Jawa ini. Namun, hingga kini belum mendapatkan kepastian jenjang karier.

Gaji Kecil, Menghidupi Keluarga Saja Tidak Cukup

Eko tidak sendiri. Ada ratusan pegawai di Unand yang nasibnya sama seperti Eko. Mereka adalah tenaga administrasi, resepsionis, satpam, hingga teknisi. Gelar mereka memang tidak setinggi profesor dan doktor, tetapi mereka penyangga jalannya birokrasi di kampus besar ini.   

Penghasilan sebagai pegawai tidak tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi kebutuhan keluarga. “Gaji sebanyak dua sampai tiga juta tidak mencukupi kebutuhan keluarga, belum kalau anak sakit, belum biaya sekolah anak,” kata Eko.

Ia memiliki tiga anak, satu duduk di bangku SD, satu di SMP, dan satu di SMA. “Sebentar lagi anak sulung saya masuk kuliah. Dengan gaji segitu, untuk menafkahi keluarga saja tidak cukup, merasa berdosa saya sebagai kepala keluarga. Beruntung, istri saya bekerja sebagai karyawan swasta, jadi gaji istri saya lah yang membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga,” ungkap Eko.

Beberapa pegawai ada yang tinggal di rumah beralaskan tanah, ada pula yang terpaksa berutang ke koperasi demi bertahan hidup. “Mau bagaimana lagi? SK kami tidak bisa digadaikan di bank. Kami bukan PNS,” jelas Eko dengan raut wajah sedih.

Mereka bertahan karena merasa memiliki tanggung jawab, dan tak lagi bisa mencari pekerjaan di luar sana. “Kalau membuka usaha modal tidak ada. Bekerja di Unand untuk membantu pimpinan dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam. Mana ada lagi waktu untuk mencari penghasilan lain,” kata Eko.

Puncak Amarah: Demonstrasi Februari

Amarah itu akhirnya memuncak. Rabu (26/2/2025), ratusan pegawai tidak tetap Universitas Andalas yang tergabung dalam Asosiasi Pegawai Tidak Tetap (APTT Unand) menggelar aksi demonstrasi di kampus. Demonstrasi dimulai dari Pusat Bahasa dan mengelilingi sejumlah Fakultas hingga memadati halaman Rektorat. 

Mereka menuntut Rektor untuk mengangkat pegawai tidak tetap menjadi pegawai tetap (non-PNS). Beberapa spanduk dibentangkan dengan narasi seperti “Rektor Zalim,” “Suramnya Nasib Honorer Tenaga Kependidikan UNAND,” “Jadikan Kami Pegawai Tetap,” dan “Pegawai Tetap Harga Mati.” Narasi tersebut adalah bentuk kemarahan Pegawai Tidak Tetap terhadap pimpinan universitas.

Saat demonstrasi berlangsung, Rektor tidak berada di lokasi, para demonstran berdiskusi dengan Direktur SDM dan Direktur Umum. Namun, menurut Eko, tidak ada solusi konkret yang didapat hari itu.

Keesokan harinya, Kamis (27/2/2025), Rektor Universitas Andalas, Efa Yonnedi, menggelar pertemuan bersama perwakilan Pegawai Tidak Tetap. Dalam pertemuan tersebut, Rektor berjanji akan mengangkat Pegawai Tidak Tetap menjadi Pegawai Tetap (non-PNS) sesuai prosedur yang ada, dan akan direalisasikan selambat-lambatnya di bulan Oktober 2025.

Kicauan Suara Keresahan Pegawai Tidak Tetap Unand

Demonstrasi yang dilakukan oleh Pegawai Tidak Tetap (Honorer) merupakan bentuk ketidakpercayaan kepada Rektor Unand. “Sebelum demo, kami sudah berusaha untuk menemui Rektor, tetapi tidak ada tanggapan. Padahal, kami ingin berdialog secara baik-baik,” jelas Haria Eko. 

Sejak tahun 2015, Presiden Joko Widodo telah merancang skema pengangkatan tenaga honorer se-Indonesia menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Namun, hingga kini Unand tidak pernah mengirimkan nama-nama pegawai tidak tetap ke BKN (Badan Kepegawaian Negara).

“Alasannya karena Unand PTN-BH. Padahal, Unand menjadi PTN-BH di tahun 2021, sedangkan BKN sudah meminta nama-nama pegawai jauh hari sebelum PTN-BH. Tapi tidak ada respons dari Unand, karena itulah kami tidak bisa lagi diangkat menjadi P3K,” ujar Eko dengan nada kecewa.

Kekecewaan itu semakin memuncak ketika pada tahun 2024 lalu, Unand justru merekrut  Pegawai Tetap dari luar yang katanya untuk mengisi posisi analis. Padahal, ada Pegawai Tidak Tetap di dalam kampus yang telah mengabdi belasan tahun lamanya. 

“Kenapa tidak kami saja? Alasan Unand tidak mendahulukan kami karena kami dianggap tidak mampu, karena banyak yang hanya lulusan SMA,” ungkap Eko. 

Menurut Eko, seharusnya Unand memberikan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas keterampilan kerja Pegawai Tidak Tetap, bukan justru merekrut orang luar sebagai solusi.

“Menambah Pegawai Tetap dari luar adalah bentuk Unand tidak menghargai kerja kami, posisikan lah Pegawai Tidak Tetap yang banyak ini sesuai tempatnya,” ungkap Eko dengan penuh kekecewaan. 

Cerita Intervensi Dibalik Demo

Eko mengungkapkan bahwa sebelum dan sesudah demonstrasi, Pegawai Tidak Tetap mendapatkan intervensi dari pihak pimpinan. “Sehari sebelum demo, pimpinan melarang kami dan menganggap gerakan kami hanya candaan saja. Kami membuktikan demo ini memang akan berjalan,” tegas Eko.

Setelah demo, ancaman pun datang. Beberapa Pegawai Tidak Tetap mendapatkan ancaman akan diberhentikan dan kontrak kerja tidak akan diperpanjang. Eko berharap, demo ini akan menjadi yang pertama dan terakhir dilakukan untuk Unand.  

APTT: Wadah Solidaritas dan Perjuangan

Asosiasi Pegawai Tidak Tetap (APTT) Unand didirikan sejak tahun 2019. Hingga kini, tercatat sebanyak 400 orang anggota yang terdaftar dari seluruh Fakultas dan unit kerja se-Unand. APTT dibentuk dengan tujuan sebagai wadah persatuan dan perjuangan Pegawai Tidak Tetap untuk terus bersuara. 

“Tujuan APTT ini awalnya untuk wadah saling kenal saja, dan tempat berkeluh kesah sesama teman senasib sepenanggungan. Karena ada keresahan bersama terkait pengangkatan pegawai, disitulah kami bergerak bersama untuk memperjuangkan nasib kami,” jelas Eko. 

Demonstrasi Pegawai Tidak Tetap yang digelar beberapa waktu lalu dinaungi oleh APTT. “Sebelum demo, kami sudah mengajak seluruh teman APTT untuk bersuara, kami juga sudah melakukan diskusi dan menyusun strategi sebelum demo,” ungkap Eko.

Ke depannya, APTT akan membentuk koperasi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, supaya anggota yang mengalami kemalangan dan kesulitan ekonomi bisa terbantu lewat koperasi. “Kami akan membentuk koperasi dibawah APTT untuk membantu anggota,” kata Eko.

Secercah Harapan Pegawai Untuk Rektor

Tujuan demonstrasi adalah untuk menuntut hak kami, seperti tunjangan keluarga dan tunjangan kinerja. Total peserta demonstrasi kemarin mencapai 756 orang. Semua sepakat agar Rektor menaikkan status Pegawai Tidak Tetap menjadi Pegawai Tetap Unand (non-PNS).

“Inti dari demo kemarin, kami ingin meminta komitmen Rektor untuk mengangkat kami menjadi Pegawai Tetap dan menaikkan gaji secara berkala,” jelas Eko dengan penuh harap.

Menurut Eko, banyak anak Pegawai Tidak Tetap yang pintar, tetapi tak mampu melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. “Kalau anak kami diberi jalur prestasi atau beasiswa untuk berkuliah di Unand, itu sudah cukup bagi kami. Karena kami juga sudah lama mengabdi untuk Unand,” ungkap Eko.

Pegawai Tidak Tetap seperti Eko bekerja dari pagi hingga sore. Beberapa di antaranya bahkan membawa pekerjaan ke rumah. Di hari libur, mereka tetap melayani mahasiswa dan dosen. Semua dilakukan tanpa tambahan gaji.

“Saya pernah dikirim pulsa 500 ribu oleh mahasiswa karena merasa sangat terbantu. Itu bukan saya minta, tapi dia yang ingin memberi. Kami bekerja bukan karena imbalan, tapi karena tanggung jawab,” tutur Eko, matanya berkaca-kaca.

Menurutnya, jika Pegawai Tidak Tetap mogok kerja, administrasi kampus bisa lumpuh. Namun, mereka tidak pernah memilih jalan itu. Mereka hanya ingin didengar, diakui, dan diberi kepastian.

“Demo kemarin mudah-mudahan yang terakhir. Kami lelah dijanjikan. Kami ingin tindakan nyata,” ucap Eko di akhir wawancara.

Baginya, memperjuangkan nasib Pegawai Tidak Tetap bukan hanya soal materi. Ini adalah soal martabat. Tentang diakui sebagai bagian dari institusi yang telah mereka rawat selama bertahun-tahun.

“Kami percaya Unand bisa menjadi rumah bagi semua. Tapi rumah itu harus adil. Harus bisa mendengar suara-suara kecil seperti kami,” ujarnya.

Sambil menatap senja, Eko mengisap rokok terakhirnya. “Kalau kampus ini mau besar, jangan lupakan orang-orang kecil yang setiap hari membuatnya tetap berjalan,” katanya.

Dan dengan itu, ia kembali ke meja kerjanya. Di balik tumpukan berkas dan komputer tua, ia melanjutkan tugas seperti biasa, seolah tak pernah ada yang berubah.

Penulis: Rangga Zamahendra