Kesejahteraan Guru Honorer Di Indonesia

 Guru honorer, adalah salah satu pilar utama pendidikan di Indonesia, terutama di daerah pelosok yang kekurangan tenaga pendidik. Namun, meskipun pengabdian mereka sangat besar, kesejahteraan guru honorer hingga saat ini masih jauh dari kata layak. Ratusan ribu guru honorer di seluruh Indonesia menerima upah yang rendah dan bekerja dalam kondisi yang sering kali kurang memadai.

Sebagai sebuah profesi, menjadi guru diyakini sebagai mata pencarian yang secara sosial-budaya terhormat dan secara ekonomi mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari. Namun demikian, hal tersebut tampaknya belum dirasakan oleh para guru yang masih memiliki status sebagai guru honorer. Nasib guru terus menjadi perbincangan hingga saat ini, bahkan perbedaan gaji guru honorer dan guru PNS sangat jauh berbeda. Berdasarkan data, pendataan guru PNS jauh lebih besar. Hal ini disebabkan oleh banyak tunjangan yang didapatkan oleh guru dengan status PNS. Sedangkan guru honorer tidak mendapatkan tunjangan dan hanya menerima gaji pokok saja, mendapat tunjangan hanya jika dapat tugas diluar jam mengajar.

Menurut pengamat pendidikan, permasalahan guru honorer itu tercipta karena tidak adanya rancangan induk pemerintah tentang guru-guru banyak yang pensiun tapi sedikit yang direkrut hal tersebut tentu menciptakan bom waktu. Guru honorer sangat dibutuhkan di banyak sekolah dan di berbagai daerah karena tingginya angka guru PNS yang memasuki masa pensiun tidak berimbang dengan jumlah penggantinya. Banyak guru honorer yang berharap pemerintah dapat mempertimbangkan guru honorer yang telah lama mengabdikan diri, belasan hingga puluhan tahun, agar mendapatkan prioritas menjadi aparatur sipil negara (ASN). Ketidak -pastian status mereka menyebabkan minimnya perlindungan sosial, seperti tunjangan kesehatan, pensiun, dan hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pegawai negri.

Peneliti lembaga riset Institute For Demographic And Poverty Studies (IDEAS), menyatakan hasil survey dari 403 responden guru menyebutkan , bahwa 42% guru memiliki penghasilan di bawah dua juta Rupiah per bulan dan 13% di bawah 500.000 Rupiah per bulan. Oleh karena itu banyak dari mereka memutuskan untuk mengambil penghasilan tambahan demi menutupi kekurangan kebutuhan hidup. Dari survei ini juga terlihat 55,8% guru memiliki penghasilan tambahan dari pekerjaan nya. Guru honorer biasanya baru mendapatkan gaji setelah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) turun. Dengan gaji perbulan kurang lebih tiga ratus ribu rupiah, guru dituntut untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti mengajar sebagai tugas pokok, administratif, akreditasi, asesmen, pelatihan kompetensi guru, dan berbagai kegiatan diluar kegiatan belajar mengajar seperti menjadi pembina ekstrakurikuler. Hal tersebut memunculkan sebuah pertanyaannya apakah cukup dengan gaji sekian untuk menghidupi diri atau bahkan keluarga dalam satu bulan? Kondisi lain yang menjadi dilema adalah sebagian besar sekolah di Indonesia membagikan gaji kepada guru honorer berdasarkan pencairan dana BOS yaitu tiga bulan sekali. 

Kurangnya kesejahteraan guru honorer adalah isu yang kompleks dan mendalam, mencerminkan masalah struktural dalam sistem pendidikan Indonesia. Guru honorer seringkali menjadi tulang punggung pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil di mana jumlah guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) terbatas. Namun, peran besar mereka tidak sebanding dengan perlakuan dan penghargaan yang mereka terima.

Kurangnya kesejahteraan guru honorer bukan hanya sebuah masalah sosial, tetapi juga cerminan dari kegagalan sistemik pemerintah dalam menghargai dan memprioritaskan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Isu ini menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan kerap didesain dengan pendekatan birokratis yang tidak menyentuh kebutuhan mendasar para pelaku di lapangan, termasuk guru honorer yang seharusnya menjadi ujung tombak pembelajaran. Status guru honorer yang tidak diakui secara penuh oleh sistem adalah masalah struktural yang mengakar. Mereka sering kali dianggap sebagai tenaga kerja murah untuk mengisi kekosongan guru PNS, tetapi tidak diberikan hak dan perlindungan yang layak. Ketidakjelasan status ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi, pemecatan sepihak, dan minimnya akses terhadap program kesejahteraan seperti asuransi kesehatan atau pensiun.

Minimnya Representasi Guru honorer sering kali tidak memiliki wadah representasi yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Serikat guru atau organisasi profesi guru sering kali lebih fokus pada kepentingan guru PNS, sementara guru honorer dibiarkan berjuang sendiri. Pemerintah juga tampak kurang mendengar aspirasi mereka, yang terlihat dari minimnya dialog terbuka yang melibatkan perwakilan guru honorer dalam pengambilan kebijakan terkait pendidikan.

retorika pemerintah tentang peningkatan kualitas pendidikan terasa hampa tanpa langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Bagaimana mungkin kita berharap mutu pendidikan meningkat jika para pengajarnya dibiarkan berjuang untuk bertahan hidup? Investasi dalam pendidikan tidak bisa hanya berupa infrastruktur fisik atau kurikulum yang berganti-ganti. Peningkatan kesejahteraan guru, termasuk guru honorer, harus menjadi prioritas utama.

Kritik tajam harus diarahkan kepada pemerintah pusat dan daerah yang selama ini saling melempar tanggung jawab terkait kesejahteraan guru honorer. Masalah ini membutuhkan keberanian politik untuk membuat perubahan mendasar, seperti alokasi anggaran pendidikan yang lebih besar untuk menggaji guru honorer secara layak dan memperbaiki sistem rekrutmen agar lebih inklusif. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan ketidakadilan ini berlangsung dan, pada akhirnya, menghancurkan harapan akan pendidikan yang bermutu dan merata di Indonesia.

Kesejahteraan guru honorer di Indonesia masih menjadi isu besar yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Terlepas dari apa yang mereka alami, guru honorer memiliki kontribusi besar terhadap pendidikan Indonesia. Kesejahteraan guru yang layak akan sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan kepada siswa dan masa depan generasi penerus bangsa.

Masalah kesejahteraan guru honorer bukanlah persoalan teknis belaka, melainkan masalah moral dan politik yang memerlukan keberanian pemerintah untuk bertindak tegas dan berpihak pada keadilan. Jika tidak segera diselesaikan, krisis ini akan terus menjadi noda hitam dalam perjalanan pembangunan pendidikan di Indonesia.

Penulis: Belvia Adelya