Di tengah tingginya angka vonis mati pada era Presiden Joko Widodo, peneliti Imparsial Wira Dika Orizha Piliang menilai negara masih ‘setengah hati’ menegakkan HAM. Dalam Seminar Nasional HIMAPOL FISIP UNAND, ia menyebut pengaturan hukuman mati dalam KUHP baru tak lebih dari upaya kosmetik untuk terlihat humanis.
Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) FISIP Universitas Andalas menggelar Seminar Nasional bertajuk “Setengah Hati Mengatur Pidana Mati” pada Jumat (14/11) di Ruang Seminar Gedung Pascasarjana UNAND. Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan akademisi dan lembaga HAM, dengan paparan peneliti Imparsial, Wira Dika Orizha Piliang, menjadi salah satu sorotan utama.
Dalam pemaparannya, Wira Dika menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang melekat pada setiap individu dan bukan pemberian negara. “Negara hanya berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhinya,” ujarnya. Ia menekankan bahwa hak hidup merupakan non-derogable right—hak yang tidak boleh dikurangi dalam situasi apa pun—sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM), ICCPR, CAT, dan Pasal 28I UUD NRI 1945.
Berdasarkan prinsip tersebut, Wira menilai keberadaan hukuman mati dalam KUHP baru menunjukkan ketidakkonsistenan negara dalam menjunjung HAM. Meskipun KUHP memperkenalkan konsep “pidana mati bersyarat,” ia menilai hal tersebut bukan langkah progresif. “Itu hanya membuat negara terlihat seolah-olah lebih humanis, padahal tetap mempertahankan instrumen paling ekstrem dalam penghukuman,” katanya.
Lebih jauh, Wira Dika juga memaparkan temuan Imparsial yang mencatat sedikitnya 530 vonis mati dijatuhkan sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mayoritas terkait kasus narkotika. Angka tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa klaim efektivitas hukuman mati tidak memiliki dasar kuat. “Kalau efek jera itu benar-benar ada, mestinya angka kasus tidak sebesar itu. Jadi, dari mana sebenarnya negara mengklaim bahwa hukuman mati efektif?” ujarnya.
Selain itu, Wira menilai Indonesia belum layak menerapkan hukuman mati karena masih terdapat praktik penyiksaan serta ketimpangan akses terhadap keadilan. Ia menyebut banyak kasus yang menunjukkan proses peradilan pidana di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar akuntabilitas dan keadilan substantif. “Negara yang masih bermasalah dengan penyiksaan tidak bisa dipercaya untuk menjatuhkan hukuman mati. Kesalahan prosedural bisa terjadi, dan nyawa manusia tidak bisa dikembalikan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa keberadaan hukuman mati justru memperluas lingkaran penyiksaan. Bukan hanya bagi terpidana, tetapi juga bagi keluarga yang harus menanggung beban psikologis dan stigma sosial. Wira menilai bahwa hukuman mati lebih berfungsi sebagai simbol kekuasaan negara daripada solusi bagi masalah kriminalitas.
Pemaparan kritis Wira menarik perhatian para peserta, khususnya mahasiswa Ilmu Politik yang menaruh minat pada isu kekuasaan dan HAM. Seminar ditutup dengan ajakan agar publik dan mahasiswa terus mengawasi praktik penegakan hukum serta mendorong negara untuk mengambil langkah yang lebih konsisten dalam melindungi hak hidup.
Penulis: Ghaza Alfatih