Masyarakat Sipil Sumbar Kritik Tim Reformasi Kepolisian: Gimmick atau Langkah Nyata?

Pertanyaan mengenai keseriusan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka. Dalam sebuah diskusi publik yang digelar pada 16 September, di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumatra Barat, sejumlah akademisi, aktivis, dan perwakilan masyarakat sipil menilai bahwa "Tim Reformasi Kepolisian" yang dibentuk pemerintah saat ini hanyalah sebuah gimmick politik. Mereka berpendapat bahwa tim ini gagal menyentuh akar masalah yang sudah menggerogoti institusi Polri.

Isi: Diskusi bertajuk "Diskusi Publik Tim Reformasi Kepolisian Gimmick atau Institusional" ini dihadiri oleh berbagai tokoh, termasuk akademisi Hary Efendi, aktivis LBH Pers Padang Ilhamdi Putra, PBHI Sumbar MH. Fadil. MZ, LBH Padang Adrizal, pegiat Nurani Perempuan Fitri Fidia, dan perwakilan WALHI Sumbar Indah Suryani. Mereka sepakat bahwa tanpa keterlibatan masyarakat sipil yang signifikan, reformasi Polri akan sulit terwujud.

Dalam pemaparannya, Adrizal dari LBH Padang secara tajam mengkritik kegagalan Polri dalam mereformasi diri sendiri. Ia menyatakan, "Kepolisian bukan lagi pelayan masyarakat, melainkan alat kekuasaan yang bersifat represif dan sering melakukan pelanggaran HAM serta hukum." Pernyataan ini didukung oleh Hary Efendi, yang menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dan mahasiswa dalam menggemakan isu ini melalui ruang-ruang diskusi. Menurutnya, ini adalah cara untuk menciptakan gerakan yang terarah guna menekan institusi Polri agar berubah.

Sejumlah narasumber menyoroti masalah-masalah sistemik di dalam kepolisian yang belum terjamah oleh tim reformasi. Fadil dari PBHI Sumbar berpendapat, tim ini dinilai hanya sebagai respons reaktif terhadap insiden-insiden tertentu, seperti kasus oknum polisi yang melindas seorang pengemudi ojek online. "Tim Reformasi dinilai gimmick untuk saat ini, karena belum ada bentuk penyelesaian masalah dari tubuh kepolisian sendiri, di antaranya represifitas terhadap aksi massa dan wartawan serta penyelewengan kekuasaan," tegas Fadil.

Selain itu, masalah internal lainnya juga diungkapkan. Fitri Fidia dari Nurani Perempuan menyoroti pelayanan kepolisian terhadap korban pelecehan seksual yang dinilai kurang memuaskan. Ia mengatakan, "Polisi sering memberikan mandat kepada korban pelecehan seksual untuk mencari saksi agar kasus ini bisa diselesaikan dengan cepat," sebuah praktik yang dinilai memberatkan korban dan menunjukkan minimnya empati institusi. Sementara itu, Indah dari WALHI Sumbar mengungkap dimensi lain dari penyimpangan fungsi Polri, yaitu keterlibatannya dalam bisnis di sektor lingkungan, sebuah praktik yang mengacaukan batas antara penegakan hukum dan kepentingan bisnis.

Menanggapi dilema gimmick atau institusional Ilhamdi Putra dari LBH Pers Padang memberikan analisisnya. Menurutnya, keberhasilan tim reformasi sangat bergantung pada format dan siapa saja yang berada di dalam tim tersebut. Jika tim ini diisi oleh figur-figur yang tidak independen dan tidak memiliki komitmen kuat terhadap reformasi, maka tim ini hanya akan menjadi pajangan semata.

Diskusi ini ditutup dengan kesimpulan bahwa tanpa transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan aktif dari masyarakat sipil, upaya reformasi di tubuh Polri hanya akan berakhir sebagai wacana kosong. Masyarakat dan aktivis sepakat untuk terus mengawasi dan menekan pemerintah agar reformasi ini tidak hanya menjadi janji politik, melainkan sebuah perubahan nyata yang bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. 

 

Penulis:

Nofal Ramadhan