Padang (19 Juli 2025) – Diskusi publik bertajuk “Bincang Rancak: Menilik Pemerintahan Fadly Amran” yang digelar oleh Rancak Publik bersama STEVA, Sabtu malam (19/7), menghadirkan perbincangan tajam seputar capaian dan tantangan pemerintahan Wali Kota Padang Fadly Amran. Fokus utama perbincangan mengerucut pada pertanyaan penting: sejauh mana masyarakat bisa membedakan antara pencitraan politik dan kebijakan yang benar-benar berdampak?
Dalam diskusi yang berlangsung di STEVA, hadir dua narasumber: Novia Harlina, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, dan Andri Rusta, seorang Dosen Ilmu Politik FISIP UNAND. Keduanya menyampaikan pandangan kritis terhadap gaya komunikasi politik pemerintahan Fadly-Maigus dan dampaknya terhadap persepsi publik.
“Pihak Pemko Padang terlalu menggembor-gemborkan program dari Fadly-Maigus, namun belum semuanya dirasakan oleh masyarakat,” ujar Novia Harlina dalam sesi pemaparannya.
Pernyataan tersebut mencerminkan kegelisahan publik terkait dominasi narasi keberhasilan yang dibentuk oleh pemerintah, namun tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Fenomena pencitraan politik ini, menurut Novia, menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis dalam menyajikan berita yang objektif dan kritis.
Dalam sesi tanya jawab, ketika ditanya bagaimana masyarakat bisa membedakan antara pencitraan politik dan kebijakan yang berdampak, Novia menjawab:
“Kalau untuk sekarang masih sulit karena ya baru 100 hari kerja kurang lebih. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan masyarakat pasti akan menyadari dengan sendirinya.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa waktu akan menjadi penentu paling jujur bagi keberhasilan atau kegagalan sebuah pemerintahan. Namun, di sisi lain, keterbatasan literasi politik publik dan minimnya partisipasi kritis juga menjadi kendala.
Sementara itu, Andri Rusta, akademisi yang juga menjadi narasumber dalam diskusi ini, mengangkat perspektif berbeda. Ia menilai bahwa gaya kepemimpinan Fadly Amran yang cenderung humanis belum cukup kuat untuk menjawab kompleksitas persoalan birokrasi dan tata kelola kota. “Gaya kepemimpinan yang cocok untuk Kota Padang itu sebenarnya otoriter,” tegas Andri.
Ia menjelaskan bahwa sifat humanis Fadly Amran, yang terbentuk dari pengalamannya di berbagai organisasi, memang menjadi daya tarik personal. Namun, dalam konteks birokrasi dan eksekusi kebijakan, menurutnya, dibutuhkan tangan yang lebih tegas dan kuat. “Pak Fadly juga harus memiliki tangan yang lebih kuat lagi, karena beliau sering ikut organisasi, jadi sifat humanisnya masih terasa,” tambahnya.
Pandangan ini menyiratkan adanya kebutuhan akan kepemimpinan yang tidak hanya populer secara citra, tetapi juga efektif secara struktural dalam menekan ego sektoral dan mempercepat eksekusi program.
Diskusi ini dipandu oleh Tri Wahyuni Oktanita dari Rancak Publik, yang membuka ruang dialog antara narasumber dan peserta secara terbuka. Beberapa peserta turut menyoroti pentingnya evaluasi kritis terhadap program-program Pemko Padang yang selama ini lebih sering disorot dari sisi pencapaian, tanpa kajian dampak langsungnya terhadap masyarakat akar rumput.
Acara ini juga menjadi pengingat pentingnya partisipasi masyarakat sipil, termasuk media dan akademisi, dalam mengawal jalannya pemerintahan. Pencitraan, meskipun perlu dalam komunikasi politik, tidak boleh menggantikan substansi. Seperti disimpulkan oleh moderator di akhir sesi: “Pemerintahan yang baik bukan hanya yang terlihat bekerja, tapi yang dampaknya benar-benar dirasakan.”