Polisi Ditembak Polisi: Simbol Krisis Integritas di Tubuh Kepolisian

Insiden tragis yang terjadi di Polres Solok Selatan, di mana seorang perwira polisi menembak rekannya hingga tewas, mencerminkan persoalan mendalam dalam integritas, profesionalitas, dan dinamika internal institusi kepolisian di Indonesia. Kasus ini tidak hanya mengguncang kepercayaan masyarakat, tetapi juga menyingkap persoalan serius terkait etika institusi, tata kelola, dan pengawasan dalam organisasi yang seharusnya menjadi penjaga hukum dan keadilan. Ketidaksenangan pelaku atas tindakan korban dalam menangkap pelaku tambang ilegal mengindikasikan adanya konflik kepentingan yang melibatkan potensi kolusi. Hal ini memperlihatkan celah dalam hierarki institusi, di mana loyalitas internal dan budaya kerja yang tidak sehat menciptakan lingkungan yang rawan konflik. Dalam teori organisasi, institusi hanya dapat berfungsi efektif jika memiliki sistem kontrol yang transparan dan akuntabel, sementara kasus ini menunjukkan sebaliknya—ada penyalahgunaan wewenang yang merusak legitimasi hukum.

Lebih jauh, motif konflik dalam kasus ini juga mencerminkan dimensi psikologis yang kompleks. Tindakan pelaku dapat dilihat sebagai kegagalan mengelola emosi di bawah tekanan kerja yang tinggi. Dalam konteks psikologi organisasi, lingkungan kerja yang tidak mendukung dan penuh tekanan dapat memicu perilaku destruktif, terutama bila tidak ada sistem pendukung yang baik. Fenomena ini diperparah oleh budaya “blue wall of silence,” di mana loyalitas internal sering kali menutupi konflik atau penyimpangan yang seharusnya segera diungkap dan diselesaikan. Ketika budaya seperti ini dibiarkan, potensi penyalahgunaan kekuasaan meningkat, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.

Kasus ini juga membuka persoalan yang lebih luas terkait korupsi struktural dan kepentingan oligarki yang merasuki berbagai sektor, termasuk tambang ilegal. Sektor tambang galian C sering kali dikaitkan dengan praktik ilegal yang melibatkan jaringan penguasa lokal hingga nasional, dan ketika aparat hukum yang seharusnya menindak justru menjadi bagian dari masalah, keadilan menjadi tumpul. Insiden ini menunjukkan bahwa kontrol terhadap penggunaan senjata api oleh aparat masih lemah, sementara pengawasan terhadap integritas personel dan mekanisme pengambilan keputusan belum memadai. Dalam konteks hukum, tindakan pelaku merupakan pelanggaran pidana berat yang tidak hanya merugikan korban secara personal, tetapi juga mencoreng kredibilitas kepolisian secara institusional.

Untuk mengatasi persoalan ini, reformasi struktural dalam institusi kepolisian harus menjadi prioritas utama. Langkah ini harus mencakup penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang transparan, evaluasi ketat terhadap penggunaan senjata api dengan pengawasan psikologis dan prosedural yang memadai, serta penegakan hukum yang tegas terhadap kolusi dan korupsi. Selain itu, reformasi budaya kerja harus dimulai dari pendidikan dasar hingga pelatihan lanjutan, yang menanamkan nilai-nilai etika, integritas, dan profesionalisme. Pemerintah juga harus memperkuat kerja sama lintas lembaga seperti KPK dan Kejaksaan untuk menindak tegas oknum aparat yang terlibat dalam aktivitas ilegal. 

Tragedi ini bukan sekadar insiden personal, tetapi sinyal darurat bagi reformasi total dalam tubuh institusi penegak hukum. Kejadian ini harus menjadi momentum untuk mendorong perubahan mendalam, memastikan kepolisian sebagai institusi yang melayani masyarakat dengan transparansi, keadilan, dan integritas. Jika langkah reformasi tidak segera diambil, bukan hanya institusi kepolisian yang kehilangan legitimasi, tetapi juga supremasi hukum di Indonesia yang semakin terancam.

Penulis: Kevin Philip