Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Pada 27 November 2024, pesta demokrasi ini akan digelar secara serentak di seluruh daerah, termasuk di Sumatera Barat yang memiliki 19 kabupaten dan kota. Namun, di tengah semangat demokrasi ini, ada fenomena yang patut menjadi perhatian, yaitu penggunaan narasi politik yang mengklaim Presiden Prabowo Subianto secara sempit sebagai "milik" partai atau kelompok tertentu.
Fenomena ini terlihat jelas dalam kampanye calon kepala daerah di Sumatera Barat yang direkomendasikan oleh Partai Gerindra. Para calon ini menggunakan narasi seperti, “Saya kader Pak Prabowo, saya didukung langsung oleh Bapak Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia,” atau bahkan secara kultural menambahkan klaim seperti, “Prabowo adalah bapak saya.” Pernyataan semacam ini, meskipun mungkin dianggap strategi politik yang sah, menyimpan persoalan mendasar yang perlu dikritisi.
Presiden sebagai Kepala Negara Negara, Bukan Milik Partai
Prabowo Subianto, sebagai Presiden Republik Indonesia, bukan hanya milik Partai Gerindra atau konstituen yang memilihnya. Ia adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari berbagai latar belakang politik, agama, suku, dan budaya. Upaya untuk mempersempit identitas presiden sebagai representasi partai tertentu adalah bentuk pengecilan terhadap kedudukan seorang kepala negara.
Narasi yang menonjolkan afiliasi sempit ini juga berpotensi menurunkan derajat simbolik presiden di mata rakyat. Presiden adalah bapak bangsa, pemimpin yang harus berdiri di atas semua golongan, bukan sekadar figur yang diidentifikasi dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Mengklaim presiden secara partisan tidak hanya melukai prinsip demokrasi yang inklusif, tetapi juga mengabaikan realitas bahwa presiden terpilih melalui mandat seluruh rakyat, bukan hanya oleh simpatisan partai tertentu.
Dampak pada Demokrasi Lokal
Narasi politik seperti ini berisiko memecah belah masyarakat, terutama dalam konteks pilkada. Di Sumatera Barat, di mana masyarakatnya dikenal memiliki tradisi demokrasi yang kuat dan kebanggaan lokal yang besar, penguatan narasi politik berbasis klaim partisan terhadap presiden dapat menciptakan polarisasi. Alih-alih fokus pada program kerja dan visi pembangunan daerah, kandidat malah terjebak dalam perang klaim simbolik yang tidak produktif.
Lebih dari itu, narasi semacam ini juga menunjukkan lemahnya independensi calon kepala daerah. Sebagai calon pemimpin daerah, mereka seharusnya menunjukkan kapasitas dan integritas sebagai figur yang mandiri, bukan bergantung pada legitimasi figur nasional semata. Pemimpin yang terlalu bergantung pada narasi "didukung presiden" dapat menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana mereka akan memimpin jika terpilih: apakah mereka akan menjadi pemimpin daerah yang otonom atau hanya perpanjangan tangan partai tertentu?
Tanggung Jawab Bersama: Partai dan Masyarakat
Fenomena ini menunjukkan perlunya refleksi mendalam, baik oleh partai politik maupun masyarakat. Partai politik harus berhati-hati dalam menyusun strategi kampanye yang tidak hanya efektif, tetapi juga etis. Menjadikan presiden sebagai alat kampanye partai secara eksklusif adalah bentuk pengerdilan politik yang justru merugikan demokrasi itu sendiri.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu cerdas dalam menilai kandidat. Pemilih harus lebih menitikberatkan perhatian pada rekam jejak, kompetensi, dan visi kandidat, bukan pada klaim dukungan dari tokoh tertentu. Dengan cara ini, demokrasi lokal dapat berjalan secara sehat dan tidak tersandera oleh kepentingan sempit.
Membangun Narasi Politik yang Bermartabat
Pilkada 2024 harus menjadi momentum untuk menunjukkan kematangan demokrasi, bukan ajang untuk memperlihatkan politik klaim yang dangkal. Narasi yang mengklaim Prabowo Subianto sebagai “milik” Partai Gerindra bertentangan dengan semangat demokrasi inklusif yang menghormati presiden sebagai simbol seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai negara demokrasi, kita membutuhkan narasi politik yang membangun dan mempersatukan, bukan yang memecah-belah atau mempersempit makna kepemimpinan nasional. Semoga Pilkada 2024 menjadi refleksi bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya berakar pada prosedur elektoral, tetapi juga pada kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berpolitik.
Penulis: Alya Syifa Amori