Menang di Meja Hijau: Gugatan Khairul Fahmi Bongkar Buruknya Tata Kelola Unand

Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang untuk membatalkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian Dr. Khairul Fahmi dari posisinya sebagai Wakil Rektor II Universitas Andalas (Unand) bukan hanya kemenangan hukum, tetapi juga cerminan pentingnya tata kelola yang baik dalam institusi akademik. Majelis hakim mengabulkan gugatan Khairul Fahmi dengan dasar bahwa alasan pemberhentiannya dinilai tidak berdasar kuat secara hukum, serta tidak mencerminkan prinsip-prinsip tata kelola yang transparan. Peristiwa ini membuka diskusi lebih luas mengenai praktik tata kelola universitas, khususnya soal keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan strategis.

Kasus ini bermula dari SK Nomor 1417/UN16.26 R/KPT/VI/2024 yang diterbitkan pada 2 April 2024, berisi pemberhentian Dr. Khairul Fahmi dari jabatan Wakil Rektor II dengan alasan yang didasari pada “kurangnya pengalaman manajerial.” Di satu sisi, pihak universitas berhak menuntut standar tinggi bagi pejabatnya, namun, di sisi lain, persyaratan manajerial ini perlu ditafsirkan dengan bijak dan konsisten dengan aturan yang ada. Khairul Fahmi sendiri telah menyebutkan bahwa pengalamannya menjabat sebagai asisten rektor, staf ahli rektor, dan Wakil Dekan II Fakultas Hukum Unand seharusnya memenuhi standar yang disyaratkan. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya perbedaan interpretasi terhadap persyaratan tersebut atau bahkan mungkin, ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya.

Kasus ini kemudian bergulir ke ranah hukum karena keberatan yang diajukan Fahmi tidak mendapat respons memadai dari Rektor Unand. Dalam konteks ini, pentingnya proses dialogis dan transparansi dalam pengelolaan universitas terlihat. Ketika keputusan krusial, seperti pergantian jabatan tinggi, tidak melibatkan komunikasi yang jelas, ini memicu kecurigaan dan menciptakan ketidakpuasan yang dapat mengganggu stabilitas institusi. Terlebih lagi, isu pemberhentian ini ternyata tidak diketahui oleh sebagian besar mahasiswa hingga gugatan Fahmi dikabulkan oleh PTUN. Artinya, ada indikasi bahwa prosesnya seakan-akan tertutup dari publik.

Kasus Khairul Fahmi menjadi pengingat pentingnya prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola universitas. Sebagai lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan integritas, universitas diharapkan mampu menjadi contoh dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan pemangku kepentingan secara luas, termasuk mahasiswa dan staf. Selain itu, pentingnya memperjelas dan memperbaiki mekanisme aturan manajerial juga perlu diperhatikan agar konflik serupa tidak berulang.

Menciptakan lingkungan akademik yang baik berarti menjunjung nilai demokratisasi di kampus, di mana transparansi dalam setiap kebijakan tidak hanya menjadi tuntutan, tetapi juga diwujudkan melalui dialog terbuka. Pada akhirnya, keterbukaan adalah langkah awal dalam memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi, yang pada intinya memegang peran penting sebagai garda terdepan intelektual dan moral bangsa.

Penulis: Alya Syifa Amori