Antara Stabilitas dan Kontroversi: Menimbang Kabinet Baru Prabowo-Gibran

Pelantikan kabinet baru di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memunculkan spekulasi, antusiasme, serta kekhawatiran di kalangan publik dan pengamat politik. Kabinet yang dikenal dengan nama "Kabinet Merah Putih" ini membawa beberapa perbedaan signifikan dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Jika kita melihat dari luar, jumlah kementerian yang kini lebih banyak dan struktur yang lebih kompleks seolah menunjukkan upaya untuk memperkuat stabilitas dan efisiensi dalam pemerintahan. Namun, di balik struktur baru ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah perubahan ini benar-benar untuk memperkuat pemerintahan, atau justru memperberat beban birokrasi dengan efek jangka panjang yang mungkin tidak menguntungkan?

Salah satu perubahan terbesar di kabinet Prabowo adalah bertambahnya jumlah Menteri Koordinator (Menko) dari yang sebelumnya hanya empat di era Presiden Joko Widodo, kini menjadi tujuh orang. Pada era pemerintahan sebelumnya, empat posisi menko dianggap sudah cukup mewakili urusan-urusan strategis yang perlu dikawal langsung oleh presiden. Dengan bertambahnya jumlah menko, pemerintahan Prabowo menunjukkan niat untuk memperketat pengawasan atas kementerian-kementerian terkait, tetapi juga membuka peluang tantangan baru terkait koordinasi dan efektivitas pengambilan keputusan. Pertanyaannya, apakah menambah jumlah menko ini benar-benar efektif untuk stabilitas, atau justru memperbesar risiko birokrasi yang lambat dan menghambat kelincahan pemerintahan?


Perubahan signifikan lainnya dalam kabinet Prabowo-Gibran adalah penunjukan wakil menteri (wamen) di setiap kementerian. Jika pada era Jokowi hanya ada 18 wamen di Kabinet Indonesia Maju dan tiga wamen di Kabinet Kerja, kabinet Prabowo kini memiliki 56 wakil menteri dari 48 kementerian. Lonjakan lebih dari tiga kali lipat ini mengundang reaksi beragam. Di satu sisi, penambahan wamen di setiap kementerian bisa dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan mempercepat program kerja. Namun, di sisi lain, jumlah wamen yang begitu besar bisa menimbulkan masalah birokrasi yang berlebihan serta risiko konflik kewenangan antara menteri dan wakil menterinya. Struktur ini juga akan membebani anggaran negara, mengingat setiap posisi wamen tentunya memerlukan dukungan anggaran dan sumber daya tambahan. Terlepas dari niat baik untuk menambah wakil di setiap kementerian, langkah ini tetap perlu dievaluasi secara kritis apakah manfaat yang diperoleh sebanding dengan pengorbanan yang harus ditanggung oleh negara.

Tidak hanya sekadar menambah wakil di setiap kementerian, kabinet Prabowo-Gibran juga mencatat sejarah baru dengan menempatkan tiga wakil menteri sekaligus di tiga kementerian strategis: Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian BUMN. Dalam kasus Kementerian Keuangan, tiga wamen yakni Thomas Djiwandono, Suahasil Nazara, dan Anggito Abimanyu akan mendampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sementara itu, di Kementerian Luar Negeri, Sugiono sebagai menteri akan dibantu oleh Anis Matta, Arrmanatha Nasir, dan Arif Havas Oegroseno. Begitu pula di Kementerian BUMN, di mana Erick Thohir akan bekerja bersama Kartika Wirjoatmodjo, Aminuddin Ma'ruf, dan Dony Oskaria. Keputusan ini mengundang berbagai pertanyaan tentang keefektifan peran wakil menteri, terutama mengingat adanya tiga orang yang harus bekerja dalam satu bidang yang sama.

Apakah struktur ini benar-benar akan mendukung efektivitas kementerian atau justru menimbulkan potensi konflik dan tumpang tindih wewenang di antara para wakil menteri? Di sisi lain, keputusan ini dapat dipandang sebagai cara untuk mengakomodasi berbagai faksi politik dan kepentingan pribadi di dalam lingkaran kekuasaan. Akan tetapi, dari sudut pandang tata kelola pemerintahan yang baik, semakin banyak posisi tinggi di kementerian yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan justru berpotensi memperlambat kinerja kementerian tersebut. Dalam hal ini, efektivitas dan hasil nyata yang dihasilkan oleh para wakil menteri baru akan menjadi ukuran penting dalam menilai keberhasilan struktur kabinet yang kompleks ini.

Selain menambah jumlah wakil menteri, pemerintahan Prabowo-Gibran juga mencatat sejarah dengan memiliki tujuh utusan khusus dan tujuh penasihat khusus, sehingga totalnya ada 14 orang yang bertugas untuk memperlancar tugas presiden. Kehadiran posisi utusan dan penasihat khusus ini diperkenalkan melalui Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024, yang diteken oleh Presiden Jokowi pada masa akhir jabatannya. Meski bertujuan untuk mendukung tugas-tugas presiden, jumlah penasihat dan utusan khusus yang cukup banyak ini menimbulkan kekhawatiran terkait efektivitas dan akuntabilitas mereka.

Posisi penasihat dan utusan khusus presiden sering kali dilihat sebagai posisi yang sulit diukur efektivitasnya, mengingat tugas-tugas mereka cenderung bersifat strategis dan tidak selalu menghasilkan output yang konkret. Selain itu, penambahan posisi-posisi ini juga bisa menjadi beban tambahan bagi anggaran negara, serta menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas mereka terhadap publik. Dengan adanya 14 penasihat dan utusan khusus, publik berharap agar mereka benar-benar mampu memberikan masukan strategis yang bermanfaat bagi kebijakan nasional dan bukan sekadar posisi yang diisi untuk memenuhi kepentingan politik tertentu.

Pada era pemerintahan Prabowo-Gibran ini, tiga badan baru juga dibentuk untuk menangani isu-isu khusus yang dianggap penting bagi pemerintahan. Tiga badan tersebut adalah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, dan Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus. Di satu sisi, pembentukan badan-badan baru ini mencerminkan niat baik pemerintah untuk fokus pada isu-isu prioritas, seperti investasi, pengentasan kemiskinan, dan pengawasan pembangunan. Namun, di sisi lain, badan-badan baru ini juga menambah lapisan birokrasi dalam pemerintahan, yang berpotensi memperlambat pelaksanaan program dan menambah beban anggaran.

Menurut saya pribadi menilai bahwa pembentukan badan-badan ini harus dibarengi dengan mekanisme kontrol dan evaluasi yang ketat agar tidak terjadi duplikasi tugas dengan lembaga yang sudah ada. Selain itu, keberhasilan badan-badan baru ini juga akan sangat tergantung pada efektivitas kepemimpinan dan akuntabilitas mereka. Tanpa adanya mekanisme yang jelas dan terukur, badan-badan ini hanya akan menjadi tambahan birokrasi tanpa dampak yang signifikan bagi masyarakat.

Dengan segala perubahan besar dalam struktur dan komposisi kabinet, pemerintahan Prabowo-Gibran menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan janji stabilitas dan efektivitas. Struktur kabinet yang lebih kompleks dengan banyaknya wakil menteri, utusan khusus, penasihat khusus, dan badan baru, di satu sisi memang mencerminkan upaya untuk memperkuat pemerintahan. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga bisa menjadi beban yang mengurangi kelincahan pemerintahan, memperbesar potensi konflik kewenangan, dan meningkatkan pengeluaran negara.

Dalam menimbang kabinet baru ini, masyarakat mengharapkan bahwa segala perubahan ini dapat memberikan hasil nyata yang berdampak positif bagi kehidupan rakyat. Pemerintahan Prabowo-Gibran harus membuktikan bahwa mereka mampu mengatasi tantangan birokrasi yang lebih kompleks, memastikan akuntabilitas, dan berfokus pada kepentingan rakyat. Jika perubahan struktural ini justru tidak memberikan dampak yang nyata bagi rakyat, maka kabinet ini akan dianggap sebagai pemerintahan yang gagal memenuhi harapan publik dan hanya memperbesar birokrasi tanpa manfaat yang jelas.

Penulis: Kevin Philip