Program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) merupakan program menggiurkan yang selalu diincar oleh kebanyakan mahasiswa, program ini banyak diminati karena bermuara kepada mobilitas internasional, dengan tujuan agar mahasiswa bisa merasakan belajar di kampus ternama dunia. Dilansir laman Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Program IISMA mulai dibuka pada tahun 2021 dan tetap melenggang pada tahun 2024 ini. Melansir Antara, jumlah anggaran IISMA pada 2022 yang dilaporkan pada 2023 adalah Rp399,43 miliar, bisa dikatakan perorang mendapatkan lebih kurang 18 juta per bulan tergantung negara mana yang mereka tempati.
Banyak hiruk-pikuk terkait program IISMA pada kali ini tertuju kepada reguler. Program IISMA hanya diperuntukkan untuk mahasiswa kelas ekonomi atas karena skema pembayarannya bertepi kepada reimburse dengan artian biaya perjalanan dipakai dulu dari mahasiswa kemudian akan diganti. Cara kerja ini hanya akan dapat diserap oleh mahasiswa kelas atas, karena tidaklah mungkin kelas bawah dapat menggunakan cara kerja serupa, kalaupun itu digunakan, mereka akan mencari jalan alternatif yaitu dengan berhutang dan menabung sedari awal. Meskipun sudah ada program afirmasi tapi, polanya tidak jauh dari reasoning yang berbeda.
Kemudian jika melihat proses administrasi seperti tes TOEFL dan lain sebagainya juga menjadi angan-angan diadopsi oleh kelas bawah, jikalau kelas bawah mau bergairah untuk ikut, maka cara kerja yang akan hadir adalah mereka harus mempersiapkan diri dan menabung serta melalui proses perjalanan ketidakadilan dan kengerian terlebih lagi ditinjau dari aspek sosiologis anak kota cenderung mendapatkan akses pendidikan lebih bermutu ketimbang anak yang hadir dari daerah terpencil, kita belum banyak tahu realitas ini. Mungkin kita kita selalu terjebak oleh narasi “orang lain bisa, kenapa anda tidak bisa” memang ada sebuah percikan api semangat dan imajinasi yang menyenangkan di dalam narasi tersebut dan disisi lain juga bisa mengaburkan realitas ketimpangan yang telah lama menghiasi langit pendidikan Indonesia.
Telah banyak berduyun-duyun kritikan dari netizen di salah-satu cuitan di akun x @caleeida Menurutnya “Dari semua program beasiswa atau exchange ya memang gue paling gak sreg sama IISMA. Barrier to entry jelas bias dan tinggi buat kelas menengah ke bawah. Target gak tepat dan impact minim, which is okay kalo negara ini bukan negara miskin. The thing is, it is,”
Realitas program ini dapat diartikan dan dilihat program yang tidak ramah bagi mahasiswa ekonomi bawah. Kemudian dampak yang tidak signifikan terhadap pendidikan Indonesia yang tidak pernah bergairah kepada kolaborasi riset internasional, cara pandangnya hanya berhasrat kepada membuat citra positif, kemudian tujuan IISMA dihadirkan belum memiliki narasi penjiwaan yang mendalam akan keadilan bagi semua, serta awardee hanya pergi berfoto-foto untuk memenuhi feed Instagram mereka dan berlari-lari di negeri orang untuk mengejar dalam agenda kegabutan semata, bahkan untuk memenuhi Curriculum Vitae (CV) diperuntukkan untuk melamar perusahaan yang lebih mapan, tapi tidak pernah pergi ke pelosok negeri untuk benar-benar bekerja untuk keadilan, hanya sebatas kuliah kerja nyata (KKN) itu pun untuk memenuhi prosedur perguruan tinggi. Terlepas dari Argumentasi lemah, KKN tidak relevan. Ya gimana lagi harus dimaklumi di sistem neoliberal mahasiswa hanya cenderung untuk mencari kerja selepas wisuda. Jikalau IISMA diorientasikan untuk bekerja, maka, pekerjaan hanya akan didapatkan oleh ekonomi atas, dan ekonomi bawah hanya berkutat dalam ratap dengan dunia kompetitif ini.
Tidak hanya itu, IISMA memiliki program turunan yaitu IISMA Co-funding, Program IISMA Co-funding merupakan varian baru dari skema beasiswa yang dibuka pada tahun 2023, dengan bantuan dana parsial kepada mahasiswa indonesia yang ingin belajar di Universitas ternama di dunia, dengan artian setengah dari pembiayaan reguler berkisar setidaknya 9 juta per bulan tergantung negara mana yang mereka “pilih”, pembahasan ini sangat menarik, karena skema baru ini menandakan terbukanya ruang luas segregasi, melihat latar belakang ekonomi mahasiswa bawah dapat diduga varian baru beasiswa ini hanya dapat diakses oleh mahasiswa ekonomi atas.
Di sini, terdapat perbandingan pembiayaan IISMA antara reguler dan Co-funding Melansir laman IISMA, biaya yang ditanggung oleh LPDP untuk masing-masing jenis jalur IISMA, yang pertama yaitu biaya IISMA Reguler, terdapat biaya pendaftaran ke kampus tuju, biaya pendidikan di kampus tujuan, transportasi pulang dan pergi (penerbangan), biaya darurat (force majeure), misalnya jika mahasiswa sakit, terkena bencana alam, atau meninggal dunia, biaya visa, kedatangan ke luar negeri, biaya hidup di negara tujuan, biaya pemeriksaan Covid-19, biaya karantina, asuransi, dan transportasi lokal.
Sedangkan untuk IISMA Co-Funding, yaitu biaya pendaftaran ke kampus tujuan, biaya pendidikan di kampus tujuan, transportasi pulang dan pergi (penerbangan), dan biaya darurat (force majeure), misalnya jika mahasiswa sakit, terkena bencana alam, atau meninggal dunia.
Melihat pembiayaan diatas, ada 7 pembiayaan reguler yang tidak dimiliki oleh Co-funding. Maka dapat dipahami, skema Co-funding bersifat terlalu eksklusif yang hanya diperuntukkan untuk ekonomi atas. Karena Mahasiswa yang mengambil Co-funding akan mengeluarkan setengah dana dari kantongnya sendiri, perilaku semacam ini hampir tidak mungkin bisa dilakukan oleh mahasiswa kelas bawah, dengan artian untuk menjangkau pembiayaan penuh bagi Co-funding agar setara dengan beasiswa reguler hanya bisa dilakukan oleh cara kerja ekonomi atas.
Pembiaran Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan, baik yang dikelola oleh negara maupun swasta. Semenjak perguruan tinggi menganut sistem pemeringkatan untuk bersaing dengan kampus dunia, salah satu yang mempengaruhi pemeringkatan adalah program IISMA.
Karena program IISMA digaungkan dapat berkontribusi pada peningkatan pemeringkatan perguruan tinggi. Dengan mengikuti program pendidikan Internasionalisasi ini, mahasiswa dapat meningkatkan kualitas pendidikan, jaringan internasional, dan pengalaman global, yang semuanya dapat berpengaruh positif terhadap reputasi perguruan tinggi. Selain itu, penguatan kerjasama dengan perguruan tinggi luar negeri juga dapat meningkatkan penilaian dalam proses kompetisi tersebut, seperti aturan main Times Higher Education dan QS World University Rankings, yang dimulai pada awal 2000-an yang memuat penilaian program internasionalisasi, tapi, itu hanya narasi artifisial belaka, sekedar formalitas sahaja tidak ada penjiwaan di dalamnya, dan tidak sesuai dengan fakta yang ada, faktannya, para awardee hanya berkontribusi menjadi mentor untuk calon awardee selanjutnya. Atau bahasa lebih lugasnya IISMA adalah program jalan-jalan untuk mahasiswa ekonomi atas diperuntukan untuk pemeringkatan dengan dampak tidak seberapa.
Maka dapat dipahami, untuk meningkatkan reputasi dan tetap berada pada konsep kompetisi dalam agenda mempertahankan peringkatnya, Perguruan tinggi melakukan pembiaran atas langgengnya Program IISMA yang problematik secara tidak langsung perguruan tinggi menciderai dua kelas sekaligus, pertama, menciderai mahasiswa ekonomi kelas atas kedua, membiarkan ketidakadilan pendidikan hinggap di pikiran dan kehidupan mahasiswa kelas bawah. Karena pembiaran untuk pemeringkatan atas ketidakadilan adalah sebuah pencideraan dari pendidikan akan percaya nilai! Sehingga Pendidikan tinggi belum benar-benar bekerja untuk pendidikan, mereka berhutang kepada pendidikan berbasis nilai itu sendiri.
Oleh karena itu, agar pembiayaan IISMA Reguler tidak menjadi latah, lebih baik program ini diorientasikan kepada Kolaborasi Riset Internasional, selain itu, IISMA Co-funding hanya diperuntukkan untuk ekonomi atas, alangkah baiknya Kemendikbud Ristek Dikti dan Perguruan Tinggi tidak enggan untuk merefleksi, dan keluar dari sistem pemeringkatan, perbanyak berdiskusi untuk kemaslahatan orang lebih banyak. Banyak saran yang telah dikucurkan kurang lebih seperti ini “lebih baik dana program IISMA dialokasikan kepada cita-cita pendidikan yang merata di seluruh daerah Indonesia”. Dan menurut penulis bisa juga membantu mahasiswa yang terkendala uang kuliahnya, dan juga banyak dilihat ada mahasiswa mati-matian siang dan malam bekerja agar mereka bisa kuliah sampai wisuda.
Penulis : Rohe (Inisial)
Keterangan: Tidak mewakili pandangan dari redaksi Detak Alinea