Melansir dari Greenpeace.org, pada tahun 2024, melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 yang ditanda tangani oleh Zulkifli Hasan, Pemerintahan Presiden Joko Widodo resmi membuka kembali ekspor pasir laut setelah 20 tahun mengalami pelarangan. Keputusan mengenai dibukanya kembali ekspor pasir laut ini dinilai sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 mengenai pengelolaan hasil sedimentasi di laut, yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 lalu. Seperti yang diketahui, pada tahun 2002, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, kegiatan ekspor pasir laut resmi dilarang. Larangan tersebut terdapat dalam Surat Keputusan Bersama antara menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, serta Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Nomor 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor SKB.07/MEN/2/2002, dan Nomor 01/MENLH/2/2002 mengenai pemberhentian sementara untuk ekspor pasir laut. Saat itu, ekspor pasir laut dilarang karena membawa kerusakan bagi ekosistem pesisir. Namun, di masa pemerintahan saat ini, ekspor pasir laut kembali dibuka, terbukti dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 ini, pemerintah mengatakan bahwa peraturan ini dibentuk untuk memperbaiki ekosistem laut yang diakibatkan oleh sedimentasi. Presiden Joko Widodo juga menyatakan bahwa yang akan diekspor adalah sedimen yang mengganggu jalur kapal laut dan bukan pasir laut. Selain itu, dilansir dari Kompas.com, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa kebijakan ekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan, tetapi justru akan mendukung kegiatan ekonomi serta industri, terutama mengenai pendalaman alur laut. Luhut juga menyebut bahwa pengerukan akan memberi manfaat bagi ekosistem laut, dikarenakan bisa menekan pendangkalan.
Namun, kebijakan yang dibentuk oleh Joko Widodo ini mendapat banyak respon penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Pengamat Ekonomi dan Energi UGM menyatakan bahwa pengerukan terhadap pasir laut berpotensi merusak lingkungan dan ekologi laut. Tindakan ini dinilai juga dapat mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau serta membahayakan kehidupan rakyat di pesisir pantai. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga akan berdampak pada nelayan, karena tidak bisa melaut lagi dan juga berdampak pada berkurangnya hasil tangkapan ikan. Pakar UGM tersebut juga mengatakan bahwa tidak tepat jika alasan pemerintah melakukan ekspor pasir laut untuk menambah pendapatan negara. Hal ini dikarenakan Kementerian Keuangan menyatakan bahwa hasil dari ekspor laut, termasuk pasir laut yang diterima oleh negara kecil. Sementara biaya yang dihabiskan untuk kegiatan ekspor pasir laut disebut lebih besar dibanding hasil yang diperoleh. Biaya yang dihabiskan tersebut termasuk biaya kerugian yang disebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi, biaya pulau yang berpotensi tenggelam dan mengancam masyarakat pesisir laut, termasuk dengan biaya nelayan yang tidak bisa melakukan aktivitas melaut lagi.
Tidak hanya itu, pakar dan aktivis lingkungan hidup turut serta mengkritik kebijakan dibukanya kembali ekspor pasir laut ini, mereka menyatakan bahwa penambangan terhadap pasir laut ini berpotensi merusak lingkungan jangka panjang dan mengancam masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Penambangan terhadap pasir laut juga akan menurunkan garis pantai dan menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau, berdampak pada kenaikan permukaan air laut, yang dapat mengakibatkan terjadinya intrusi dan abrasi air laut. Penambangan terhadap pasir laut ini juga turut berdampak pada kerusakan habitat organisme laut, yang menyebabkan berkurangnya jumlah ikan-ikan di laut dan tentunya akan berdampak pada pendapatan para nelayan. Dilansir dari Walhi.or.id, di Bangka Belitung, penambangan pasir laut telah dilakukan saat tahun 2001, yang mana disetiap bulannya dilakukan penambangan sebanyak 300.000 sampai 500.000 ton pasir laut untuk diekspor ke Singapura. Akibatnya 20 tahun kemudian kehancuran mulai terjadi di Provinsi kepulauan ini. Diketahui pada tahun 2017, terumbu karang yang terdapat di Kepulauan ini hanya tersisa 12.474,54 hektar, di mana sebelumnya terdapat terumbu karang seluas 82.259,84 hektar di Kepulauan ini. Selain itu, selama 2 dekade, hutan mangrove seluas 240.467,98 hektar yang terdapat di Kepulauan ini juga turut mengalami kerusakan. Selain di Provinsi Bangka Belitung, penambangan pasir laut juga telah lama terjadi di Jawa Timur, yaitu sejak tahun 1996. Penambangan pasir laut di provinsi ini menyebabkan penurunan jumlah nelayan karena sulitnya mendapatkan ikan di laut. Bisa dikatakan bahwa penambangan pasir laut ini menyebabkan terjadinya krisis ikan di provinsi tersebut. Selain itu, di Bali, penambangan pasir laut telah menyebabkan terjadinya abrasi besar-besaran di wilayah pantai yang terdapat di Bali. Wilayah pesisir yang menjadi tempat bagi manggrove dan terumbu karang juga ikut serta mengalami kehancuran akibat penambangan pasir laut ini.
Selain para pakar dan aktivis lingkungan hidup, rencana dibukanya kembali ekspor pasir laut juga turut mendapat kritikan dan penolakan dari pejabat pemerintahan, seperti anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, yang turut serta menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor pasir laut, dia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mengkaji ulang kebijakan ini, dikarenakan tindakan ekspor pasir laut memiliki dampak serius pada lingkungan serta akan membawa pada masalah sosial.
Ekspor pasir laut merupakan tindakan yang seharusnya dipertimbangkan oleh pemerintah dengan sangat baik. Adanya pelarangan ekspor pasir laut pada tahun 2002, seharusnya bisa menjadi acuan pemerintah mengenai seberapa besarnya potensi kerusakan yang akan dihasilkan dibandingkan keuntungan yang akan didapat. Setiap keputusan dan kebijakan yang akan dibuat, pemerintah seharusnya selalu mempertimbangkan masyarakat serta kelestarian lingkungan, dan jangan membentuk kebijakan yang berpotensi membawa kerusakan pada lingkungan demi keuntungan semata. Untuk itu, dengan menimbang berbagai kerugian yang akan diperoleh dari penambangan pasir laut ini, pemerintah seharusnya memberhentikan dan melakukan pelarangan secara resmi terhadap penambangan dan ekspor pasir laut. Hal ini dikarenakan potensi kerugian yang didapat akan lebih besar dibanding potensi keuntungan. Terlebih sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa hasil ekspor laut terutama pasir laut yang diterima oleh negara kecil dan ini pastinya tidak sesuai dengan kerugian yang akan dihasilkan dari tindakan ini.