Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) di lingkungan kampus seringkali hanya dilihat sebagai isu ketertiban semata. Namun, di balik tenda-tenda dan gerobak di sekitar gedung perkuliahan Universitas Andalas (UNAND), tersimpan konflik tata kelola yang jauh lebih dalam: krisis kepercayaan (Trust Gap) antara otoritas kampus dan para pelaku ekonomi informal.
Masalah ini bukan baru. Upaya penataan, termasuk program pemberian seragam ke pedagang resmi yang telah terdaftar sejak 2015, gagal membendung pertumbuhan PKL. Data terakhir mencatat setidaknya 48 PKL tersebar di 17 titik strategis, termasuk di lorong Gedung Kuliah C, F, dan A. Kehadiran mereka secara fisik telah mengganggu estetika tata ruang, menciptakan masalah kebersihan akibat sampah yang tercecer, dan yang paling krusial, mengganggu kenyamanan dan kegiatan akademik mahasiswa.
Namun, menertibkan PKL ternyata bukan hanya masalah menegakkan aturan. Ini adalah konflik multi-lapisan yang menuntut solusi yang adil.
Polemik PKL di UNAND berpusat pada dua konflik utama:
- Konflik Vertikal: Otoritas Melawan Aktor Informal: Pihak kampus, melalui Wakil Rektor II, telah mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 19/2022, yang meminta 23 pedagang tanpa izin menghentikan aktivitas dan pindah ke lokasi yang sesuai. Koordinator Umum UNAND, Azral, menekankan bahwa langkah ini krusial untuk menjaga ketertiban, mencegah potensi kecelakaan di pinggir jalan, dan menjaga kebersihan.
- Konflik Horizontal: Keadilan Bagi Pedagang Berizin: Pada saat yang sama, otoritas kampus harus menghadapi keluhan dari pedagang yang patuh. Pedagang di Business Center (BC), yang telah membayar sewa, merasa dirugikan secara ekonomi oleh PKL ilegal yang menjual barang serupa di jalanan BC. Nelfa, salah satu pedagang di BC, mengeluhkan kerugian ini, terutama setelah baru memulai usaha kembali pasca-pandemi dengan modal seadanya. Penertiban PKL ilegal oleh kampus, dalam konteks ini, adalah upaya untuk menegakkan keadilan kompetisi bagi 28 pengelola Kantin BC yang selama ini patuh pada regulasi.
Di sinilah letak kegagalan kebijakan paling mendasar. Awalnya, pihak kampus menerapkan pendekatan persuasif. Pedagang diminta merapikan lapak, tidak menambah tenda besar, dan dijanjikan bahwa aktivitas jual beli masih bisa berlangsung asalkan standar kerapian dipenuhi. Janji ini diterima baik oleh pedagang.
Namun, yang terjadi di lapangan adalah implementasi yang inkonsisten dan sepihak. Ketika pedagang menanyakan standar perapian lebih lanjut, pihak kampus justru mengeluarkan kebijakan baru yang lebih ketat, dan penertiban dilakukan secara tiba-tiba. Tenda atau payung yang dianggap tidak sesuai langsung ditarik tanpa dialog lanjutan.
Ketidakselarasan antara janji (dialog dan perapian) dan realitas (pembongkaran mendadak) inilah yang menciptakan Trust Gap. Pedagang merasa dikesampingkan dan dicurangi. Mereka tidak hanya kehilangan fasilitas berjualan, tetapi juga kehilangan pegangan dan kepercayaan terhadap proses pengambilan keputusan kampus. Masalahnya bergeser dari substansi (di mana boleh berjualan) menjadi prosedur (bagaimana kebijakan diterapkan).
Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini, dibutuhkan pergeseran paradigma total menuju model penataan yang transparan, partisipatif, dan berkelanjutan, yang ditopang oleh tiga pilar advokasi berbasis Good Governance:
- Kepastian Regulasi melalui SOP (Standard Operational Procedure) Inkonsistensi implementasi harus diakhiri dengan penerbitan Peraturan Rektor yang diturunkan menjadi SOP yang jelas, terukur, dan memiliki kepastian hukum. SOP ini harus mengatur standar teknis penataan visual, kriteria zonasi, dan mekanisme sanksi yang transparan. Ini adalah langkah fundamental untuk membangun kembali kepercayaan: semua pihak harus memiliki acuan yang sama.
- Rekonstruksi Hubungan melalui FKT (Forum Komunikasi Tiga Pihak) Untuk memulihkan Trust Gap, dialog harus dilembagakan. Pembentukan Forum Komunikasi Tiga Pihak (FKT) diusulkan sebagai wadah formal yang melibatkan Kampus, PKL (yang direlokasi), dan perwakilan Pedagang BC berizin. FKT menjamin bahwa setiap kebijakan atau tindakan penertiban dilakukan melalui konsultasi, mengubah hubungan vertikal-otoritatif menjadi horizontal-kolegial, dan memastikan kebijakan memiliki daya tahan jangka panjang.
- Keberlanjutan Ekonomi melalui Zonasi dan Pemberdayaan Penataan harus menjamin mata pencaharian. Hal ini dicapai melalui sistem zonasi yang membedakan secara tegas area terlarang dan zona khusus PKL, yang realistis secara pasar. Lebih penting lagi, harus ada program pemberdayaan ekonomi PKL yang meliputi pelatihan manajemen usaha, kebersihan pangan, dan bimbingan permodalan. Pemberdayaan ini tidak hanya membantu PKL, tetapi juga meningkatkan profesionalisme mereka, sehingga menciptakan lingkungan kompetisi yang lebih adil bagi Pedagang BC.
Pada akhirnya, advokasi kebijakan penataan pedagang di UNAND bukan hanya tentang memindahkan gerobak dari koridor kampus. Ini adalah tentang menguji komitmen institusi untuk menjalankan tata kelola yang adil. Keberhasilan kebijakan ini akan diukur tidak hanya dari seberapa rapi kampus secara visual, tetapi juga dari peningkatan pendapatan para pedagang yang direlokasi dan pengurangan perselisihan di lingkungan kampus. Ini adalah kesempatan bagi Universitas Andalas untuk menunjukkan bahwa ketertiban akademik dan keadilan ekonomi dapat berjalan beriringan.
Penulis :
- Muhammad Teguh
- Athiyya Rihadatul Aisa
- Shava Salsabila Andraini
- Putri Louise Anastacia
- Sheina Novita Azka
- Dhinda Syalwa Azzahra Gusmel’s