Mendesain Ulang Pemira Unand dan MWA yang Berintegritas

Pelan-pelan dan sampai. Selama dua tahun terakhir, politik kampus tengah mengalami krisis legitimasi. Di Universitas Andalas, Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA) yang seharusnya menjadi ajang demokrasi justru kehilangan maknanya. Tahun 2022, PEMIRA sedikit membawa angin segar, tapi dengan modal diplomatis dangkal. Berdasarkan hasil perhitungan akhir suara PEMIRA KM UNAND 2022  pasangan calon nomor urut 1 memperoleh 2.614 suara, sedangkan pasangan calon nomor urut 2 meraih 1.946 suara. Total suara sah yang tercatat adalah 4.560 suara. 

Jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Universitas Andalas yang diperkirakan mencapai lebih dari 30.000 mahasiswa aktif, maka tingkat partisipasi pemilih dalam PEMIRA tersebut hanya berada pada kisaran 15%. Artinya, dari seluruh populasi mahasiswa, sekitar 85% tidak menggunakan hak suaranya. Data ini menunjukkan bahwa meskipun PEMIRA berhasil menghasilkan pemenang secara prosedural, namun tingkat partisipasi demokrasi mahasiswa masih sangat rendah.

Pada 2023 dan 2024, mahasiswa Unand dihadapkan pada fenomena memalukan: Kontestasi melawan  kotak kosong. Ini bukan sekadar karena tak ada calon yang mendaftar, tetapi karena mahasiswa mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem dan makna politik kampus itu sendiri.

Krisis legitimasi ini memperlihatkan bahwa demokrasi mahasiswa telah terjebak dalam rutinitas prosedural tanpa substansi. PEMIRA seolah menjadi ritual tahunan: ada BPU, ada calon, ada debat, lalu ada pemungutan suara. Tetapi apa yang sebenarnya diperdebatkan? Apakah soal gagasan, arah ideologi kampus, atau sekadar popularitas? Atau hanya pertengkaran ormek² yang kini telah mengalami krisis legitimasi? Atau hanya haus kekuasaan saja seperti yang sudah²?

Terkhusus Unand, PEMIRA juga berfungsi sebagai “pintu formal” menuju jabatan Ex Officio MWA dari unsur mahasiswa. Artinya, siapa pun yang memenangkan PEMIRA dan menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), secara otomatis akan duduk di kursi MWA.

Secara teori, ini terdengar ideal: presiden mahasiswa mewakili suara mahasiswa dalam forum tertinggi universitas. Namun dalam praktiknya, sistem ini justru melanggengkan elitisme dan reproduksi kekuasaan di antara segelintir kelompok mahasiswa.

Akhirnya, mereka yang naik menjadi Ex Officio MWA sering kali tidak benar-benar lahir dari proses politik yang representatif, melainkan dari sistem yang sudah diatur untuk melahirkan “wakil aman” bagi struktur kampus.

Dari sinilah muncul istilah sinis di kalangan mahasiswa: “Naik lewat PEMIRA bukan karena dipercaya, tapi karena sistemnya mendukung.” Fenomena ini menjelaskan kenapa, meski terjadi pergantian nama dan wajah, substansi kekuasaan mahasiswa tetap mati tempat.

Iya, jadi begini. Kalau kita bicara soal MWA, posisi ex officio dari mahasiswa itu sebenarnya strategi tapi juga rentan. Bayangkan, satu orang mahasiswa harus duduk bersama para rektor-rektor dan pejabat universitas serta kementerian yang punya kekuasaan struktural dan pengalaman panjang dalam birokrasi. Secara politik, posisi mahasiswa itu jelas minoritas, mewakili lebih kurang 30.000 mahasiswa lagi, apakah kecerdasan Profesor sudah di lampaui? Memang kecerdasan seluruh mahasiswa sudah terwakili?.

Kerangka Konseptual

Antonio Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui paksaan fisik atau kekuatan negara, tetapi juga melalui hegemoni, yaitu kemampuan kelompok dominan membentuk cara berpikir masyarakat sehingga suatu tatanan sosial diterima secara sukarela. Hegemoni bekerja melalui pendidikan, media, budaya, agama, dan bahasa yang secara halus membentuk kesadaran kolektif. Dalam konteks ini, ideologi menjadi mekanisme kultural yang menjaga stabilitas kekuasaan tanpa terlihat memaksa.

Pemikiran Michel Foucault memperluas pandangan tersebut dengan menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di tangan elit atau institusi besar. Menurut Foucault, kekuasaan tersebar dalam seluruh jaringan kehidupan sosial dan hadir dalam praktik sehari-hari, misalnya dalam aturan sekolah, kebijakan kampus, standar moral, atau bahasa yang kita gunakan. Foucault menegaskan bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling terkait; siapa yang menguasai produksi pengetahuan, ia juga dapat membentuk kebenaran yang diterima masyarakat.

Pertanyaannya adalah sejauh mana MWA unsur Mahasiswa Independen dan Tercerahkan?

Pembahasan

Ketika mahasiswa duduk di MWA, tantangannya bukan cuma soal suara voting, tapi soal diskursus, bagaimana narasi dan ide mahasiswa bisa menembus struktur yang sudah mapan. Ironisnya, mereka yang seharusnya memahami ini justru sering kali pasif. Fakultas-fakultas seperti FISIP dan FIB yang seharusnya menjadi pusat nalar kritis justru tampak mandul. Sedangkan di sisi lain, sebagian mahasiswa Hukum sibuk dengan tafsir prosedur, tapi lupa memahami esensi demokrasi substantif. Mereka bisa mengutip pasal, tapi tidak mengerti mengapa demokrasi itu harus bermakna, seperti kasus. Kisruh perebutan kursi Majelis Wali Amanat (MWA) unsur mahasiswa pada tahun 2024 merupakan salah satu contoh paling memalukan dalam sejarah organisasi mahasiswa kampus. Alih-alih menunjukkan kedewasaan intelektual dan tanggung jawab moral sebagai calon representasi mahasiswa, proses tersebut justru diwarnai percekcokan, saling menggugat secara administratif, hingga drama rebutan legitimasi yang jauh dari nilai demokrasi subtantif itu sendiri. Ironisnya, sebagian pihak yang terlibat kerap berbicara lantang soal integritas dan perjuangan mahasiswa, namun minim bacaan serta tidak memahami esensi keberadaan MWA itu sendiri sebagai organ strategis dalam tata kelola perguruan tinggi.

Keadaan semakin memperlihatkan kemunduran etika ketika pada tahun 2025, kursi MWA mahasiswa berubah mekanisme ex-officio yang sebelumnya diperuntukkan bagi Wakil Presiden Mahasiswa, namun kemudian ditempati oleh Presiden Mahasiswa. Situasi ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya besar mengenai transparansi dan legitimasi prosesnya, tetapi juga menunjukkan betapa rendahnya kesadaran sebagian elite mahasiswa terhadap fungsi strategis MWA sebagai lembaga yang mengawasi arah kebijakan universitas, termasuk memastikan prinsip akuntabilitas, integritas, dan keberpihakan pada kepentingan mahasiswa tetap terjaga.

Lebih memprihatinkan lagi, ketika muncul dugaan kasus korupsi terkait pengadaan alat laboratorium di Universitas Andalas (UNAND), suara kritis dari unsur MWA mahasiswa justru nyaris tak terdengar. Padahal, sebagai bagian dari struktur MWA, unsur mahasiswa memiliki tanggung jawab moral dan struktural untuk mempertanyakan, mengawasi, bahkan mendorong penuntasan dugaan penyimpangan tersebut. Diamnya mereka bukan hanya bentuk pengabaian terhadap amanah representasi mahasiswa, tetapi juga memperlihatkan bahwa posisi di MWA mulai bergeser dari ruang perjuangan menjadi sekadar panggung kekuasaan dan kepentingan, lebih Payahnya lagi dugaan kasus tersebut salah satu unsur dari MWA.

Di kasus yang lain, Polemik pengembalian jabatan Khairul Fahmi sebagai Wakil Rektor II Universitas Andalas setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukan sekadar persoalan hukum administratif yang bersifat teknis. Kasus ini memperlihatkan secara gamblang bagaimana kompleksitas tata kelola PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) sering kali terjebak dalam tarik-menarik kepentingan, lemahnya etika kelembagaan, serta krisis representasi dalam struktur kekuasaan kampus. Putusan PTUN yang memerintahkan Rektor mengembalikan Fahmi ke jabatan sebelumnya memperlihatkan bahwa tindakan pencopotan dirinya tidak memenuhi aspek legal formal, menunjukkan tanpa dasar hukum yang kuat.

Namun, persoalan ini jauh lebih dalam daripada sekadar sengketa jabatan. Ia membuka tabir bagaimana Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ tertinggi dalam struktur PTN-BH menggunakan kewenangannya secara problematis. Penolakan MWA terhadap Khairul Fahmi disebut karena tidak memenuhi syarat sebagai WR, tetapi alasan ini justru tampak kabur dan tidak memiliki dasar akademik serta administratif yang kuat. Di sinilah persoalan tata kelola (good university governance) diuji: apakah keputusan yang diambil benar berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi? Atau justru dipengaruhi oleh intrik kekuasaan dan kompromi politis?

Dalam situasi seperti ini, suara mahasiswa sebenarnya sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang. Namun realitas yang tergambar dalam kasus ini menunjukkan betapa lemah posisi mahasiswa dalam struktur pengambilan keputusan kampus. Secara formal, mahasiswa memang memiliki keterwakilan dalam MWA melalui satu kursi Ex Officio. Tetapi kenyataannya, representasi ini sering kali hanya seremonial, tidak efektif memainkan peran kontrol sosial, dan mudah dikooptasi oleh kekuasaan kampus. Mereka bersuara, tetapi suara itu sering diredam dengan hegemoni argumentasi legalistik, tata aturan administratif, bahkan tekanan budaya birokrasi kampus.

Masalah ini menjadi bukti kegagalan politik representasi mahasiswa di PTN-BH. Ketika konflik pengetahuan dan kekuasaan terjadi antara otoritas rektorat, MWA, dan kepentingan eksternal mahasiswa tak memiliki kesiapan epistemik maupun strategi politik yang memadai. Banyak yang terjebak pada pragmatisme, lebih mengejar posisi dan akses kekuasaan daripada berpihak pada integritas institusi akademik.

Karena itu, pelajaran krusial dari kasus ini adalah pentingnya reposisi peran mahasiswa sebagai kekuatan penyeimbang yang kritis. Mahasiswa perlu memperkuat kemampuan analisis kelembagaan, memahami politik kampus secara struktural, serta memiliki basis ideologis yang jelas agar tidak mudah diseret dalam kepentingan kekuasaan sesaat. Ex Officio MWA seharusnya menjadi benteng moral, bukan sekadar perpanjangan tangan birokrasi. Kasus Khairul Fahmi adalah cermin bahwa kampus bukan hanya ruang akademik, melainkan arena tarik-menarik kekuasaan yang perlu diawasi agar tidak menyimpang dari jati dirinya sebagai institusi penjaga nurani intelektual bangsa.

Fenomena kooptasi terhadap MWA unsur mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiologis generasi yang mengisinya. Burhanuddin Muhtadi dkk. (2025) dalam risetnya tentang “Complacent Democrats” menunjukkan bahwa mayoritas Gen Z Indonesia cenderung puas secara dangkal terhadap kondisi demokrasi meskipun ada kemunduran demokrasi yang nyata, dan mereka sering memilih akomodasi terhadap kekuasaan dibanding konfrontasi politik berbasis prinsip. Temuan ini menjelaskan mengapa MWA mahasiswa semakin depolitisasi, kehilangan keberanian moral, dan lebih berorientasi administratif daripada ideologis. Dengan kata lain, kemandulan MWA bukan hanya akibat tekanan struktural PTN-BH, tetapi juga akibat watak generasional yang pragmatis dan kompromistis,

Maka perlu wakil mahasiswa belajar dengan menekan ego perihal politik dan ideologi agar tidak mudah "dikibuli" oleh kekuasaan yang lebih, agar posisi Ex Officio MWA tidak mudah terkooptasi. Dan tidak sibuk menyesuaikan diri dengan budaya birokrasi kampus ketimbang menjadi oposisi intelektual. Kalau demokrasi hanya dipahami sebatas tata cara dan aturan, tanpa nilai, maka yang muncul adalah politik kampus yang dangkal, elitis, dan mudah dikendalikan.

Kesimpulan dan Menuju Politik Substantif Kampus

Berdasarkan realitas politik kampus, dinamika tata kelola PTN-BH, krisis legitimasi representasi, serta kasus gugatan Khairul Fahmi di Universitas Andalas (UNAND), dapat disimpulkan bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) unsur mahasiswa saat ini belum sepenuhnya dapat disebut independen maupun tercerahkan secara intelektual. Temuan ini menegaskan melalui tiga poin utama berikut:

  1. Pertama: Krisis Independensi Politik Mahasiswa dalam MWA

Independensi MWA unsur mahasiswa berada pada titik lemah. Sebagai lembaga yang seharusnya mengawasi kebijakan rektorat dan senat, justru MWA mahasiswa tampak lebih sering menyesuaikan diri pada arah kekuasaan birokrasi kampus dibanding memperjuangkan mandat konstituennya. Pada kasus polemik jabatan Wakil Rektor II dan perubahan mekanisme keanggotaan MWA secara ex officio, MWA mahasiswa tidak menunjukkan keberanian sikap maupun pernyataan publik yang membela kepentingan demokrasi kampus. Posisi mereka tereduksi menjadi bagian dari administrasi struktural, bukan representasi gerakan mahasiswa.

  1. Krisis Pencerahan Intelektual dan Konseptual

MWA mahasiswa tidak didukung oleh basis gagasan yang kuat, analisis kebijakan yang bermutu, atau kesadaran struktural terhadap problem tata kelola kampus. Tidak terlihat adanya kajian strategis, naskah akademik, ataupun pernyataan resmi terkait isu sentral kampus seperti komersialisasi pendidikan, kenaikan UKT, ketidakadilan akses pendidikan, hingga kritik terhadap rezim PTN-BH. Kemandulan intelektual ini menunjukkan absennya tradisi berpikir kritis yang seharusnya menjadi roh perwakilan mahasiswa.

  1. Kooptasi Hegemoni Birokrasi Kampus

MWA unsur mahasiswa terlihat telah terbawa arus kooptasi birokrasi, di mana relasi kuasa dengan pihak rektorat memaksa mereka untuk tunduk pada logika kompromi, kepatuhan, dan oportunisme jabatan. Posisi representatif mereka bergeser menjadi sekadar sarana mobilitas karier organisasi, bukan alat perjuangan kepentingan mahasiswa. Fenomena ini selaras dengan konsep "Complacent Democrats" (Muhtadi, 2025), yaitu representasi demokrasi formal yang jinak, tidak mengancam kekuasaan, dan kehilangan fungsi oposisi moral.

Untuk keluar dari lingkaran itu, perlu reformasi besar dalam format PEMIRA. Proses politik kampus harus diubah dari ritual elektoral menjadi arena pendidikan ideologis dan substantif.

Salah satu usul konkret adalah mengubah PEMIRA menjadi Forum Publik Ideologis, di mana calon presiden mahasiswa diuji bukan hanya dari retorikanya, tetapi dari kedalaman pikirannya terhadap isu-isu struktural kampus.

Tahap 1: Pra-Acara – Transparansi Gagasan Sejak Awal

Sebelum bicara jabatan, mari bicara pikiran. Setiap calon presiden mahasiswa wajib menulis Position Paper sepanjang 800–1.000 kata. Ini bukan tugas formalitas, tapi wajib untuk mengukur kualitas pemikiran calon. Di dalam paper ini, setiap calon harus menunjukkan cara berpikir dan garis sikap mereka terhadap isu-isu strategis kampus, seperti:

  1. Komersialisasi pendidikan dan pengaruh PTN-BH
  2. Relasi kampus–industri dan arah pendidikan yang makin pragmatis
  3. Masalah kesejahteraan mahasiswa dan tenaga kependidikan
  4. Akses beasiswa yang tidak merata dan bias kelas
  5. Demokrasi kampus, represi organisasi, dan matinya ruang kritik
  6. Peran BEM dalam isu-isu nasional dan keberpihakan sosial

Position paper harus dipublikasikan minimal lima hari sebelum forum agar mahasiswa bisa membaca dan mengkritiknya. Publik berhak tahu: apa yang dipikirkan calon, berdiri di mana secara ideologis, dan bagaimana solusi yang mereka tawarkan.

Tahap 2: Forum Publik – Tempat Ide Diuji, Bukan Sekadar Dipromosikan

Forum publik bukan sekadar debat formal yang penuh gimmick. Ini adalah ruang uji pikiran, tempat calon diuji konsistensinya. Formatnya dibuat agar tidak dangkal dan tidak jadi ajang saling serang murahan.

Format Forum Publik (± 2 jam)

  1. Pemaparan Gagasan (7 menit per calon): Setiap calon menjelaskan garis besar pikiran dan arah perjuangannya. Bukan jual slogan, tapi jelas, tegas, dan argumentatif.
  1. Socratic Dialogue / Fishbowl Discussion (60 menit): Ini inti acara. Calon duduk dalam lingkaran diskusi bersama panelis independen yang paham teori politik misalnya akademisi maupun praktisi. Tidak ada memorizing script. Argumen diuji, logika ditantang, dan pemikiran diperdalam melalui dialog terbuka.
  1. Interogasi Publik (30 menit): Mahasiswa bebas bertanya. Tidak ada pertanyaan dibatasi panitia. Semua wajib dijawab langsung oleh calon. Yang berbohong akan terlihat, yang tak paham isu akan terbongkar.
  1. Refleksi Penutup (3 menit per calon): Setiap calon menyampaikan komitmen moral dan mandat ideologisnya kepada publik kampus.

Semua acara direkam dan dipublikasikan, agar mahasiswa lain bisa menilai bukan dari pencitraan, tapi dari kualitas pikiran.

Tahap 3: Pasca-PEMIRA – Akuntabilitas Setelah Menang

  • Satu masalah klasik di kampus: setelah menang, lupa janji. Karena itu, forum publik dilanjutkan dengan mekanisme akuntabilitas ideologis.
  • Dibuat Ringkasan Ideologis Capresma, berisi perbandingan visi, orientasi kritik, dan arah kebijakan setiap calon.
  • Presiden mahasiswa terpilih wajib tanda tangan Kontrak Politik Mahasiswa komitmen untuk menjalankan ide yang ia ucapkan sendiri.

Legitimasi dan Keterlibatan Publik

Agar format ini memiliki bobot moral, forum publik harus disahkan bersama oleh BPU PEMIRA, DPM, dan MWA serta melibatkan perwakilan fakultas, komunitas mahasiswa marginal, dan media kampus. Ini penting agar PEMIRA tidak lagi dipandang sebagai acara segelintir elite organisasi, tetapi sebagai proses kolektif yang membentuk kesadaran politik mahasiswa secara luas.

Reformasi format PEMIRA bukan hanya soal teknis, tetapi soal mengembalikan makna politik kampus itu sendiri. Demokrasi mahasiswa seharusnya tidak berhenti di kotak suara. Ia harus menjadi proses pembelajaran: bagaimana berpikir kritis, berdebat secara sehat, dan memahami arah kekuasaan yang ada di balik struktur kampus. Kalau tidak, kursi Ex Officio MWA hanya akan terus menjadi “tangga karier” bagi segelintir mahasiswa ambisius, bukan ruang representasi ide dan moralitas kolektif mahasiswa. Sudah saatnya mahasiswa melawan hegemoni “politik prosedural” ini. PEMIRA harus menjadi laboratorium ideologi, bukan sekadar ajang pencitraan. Karena dari kampuslah seharusnya lahir pemimpin yang bukan hanya pandai berbicara, tapi juga berani berpikir.

Penulis: Robbi  Herfandi