Gelombang tuntutan rakyat terhadap politik yang bertanggung jawab kini tak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena serupa melanda Nepal, Prancis, hingga Filipina. Situasi ini menunjukkan betapa krusialnya respons pemerintah terhadap keresahan publik. Jika abai, Indonesia bisa saja mengalami kekacauan sosial-politik yang serupa dengan negara-negara tersebut.
Dalam situasi krisis ini, untungnya Gerakan Nurani Bangsa yang diinisiasi tokoh tokoh senior seperti Quraish Shihab dan Franz Magnis mulai turun tangan mengingatkan elit pada Kamis 11 September 2025 dan bersuara via media massa.
Aksi massa yang pecah pada akhir Agustus lalu adalah peringatan keras. Tuntutan rakyat, khususnya gerakan 17 plus 8, menjadi penanda bahwa ketidakpuasan publik telah mencapai titik didih. Namun, sayangnya, banyak elit politik masih berada dalam zona nyaman. Mereka sibuk dengan rutinitas kekuasaan, bahkan meromantisasi stabilitas lama yang sesungguhnya rapuh.
Tuntutan rakyat ini bukanlah tuntutan spontan. Ia adalah tuntutan struktural yang lahir dari ketimpangan akut yang menahun. Respons yang dibutuhkan pun bukan janji sesaat atau kebijakan kosmetik, melainkan perbaikan konsisten yang menyentuh akar masalah. Jika elit gagal membaca tanda zaman, ledakan sosial berikutnya bisa lebih dahsyat.
Kita hidup di era media sosial, di mana keresahan massa dengan cepat menyebar dan berlipat ganda. Psikologi massa hari ini lebih mudah terbakar, terutama generasi muda yang semakin kritis dan melek politik. Karena itu, kepercayaan rakyat hanya bisa dipulihkan melalui langkah nyata, bukan sekadar retorika lama.
Ada dua sektor fundamental yang harus segera diperbaiki oleh para elit politik yaitu ekonomi dan hukum. Perbaikan di dua ranah ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan upaya membangun ulang kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Tanpa fondasi ekonomi yang adil dan hukum yang tegak, demokrasi Indonesia akan rapuh.
Pertama, perbaikan ekonomi. Mayoritas rakyat harus didorong naik ke kelas menengah dengan pendapatan stabil minimal Rp10–20 juta per bulan. Untuk itu, reformasi struktural diperlukan. Negara harus berani menambah pendapatan dari sektor strategis: pertambangan yang selama ini hanya dikuasai oligarki, BUMN, serta pajak progresif bagi orang kaya. Kekayaan negara jangan lagi dikeruk segelintir elit rente, sementara rakyat dibiarkan hidup di tepi jurang kerentanan.
Kedua, sektor hukum. Hukum di Indonesia terlalu lama diperalat untuk kepentingan elit. Praktik kriminalisasi rakyat, jual beli hukum, serta tafsir hukum yang selalu memihak kekuasaan adalah penyakit lama yang harus dihentikan. Penegakan hukum seharusnya menjadi pelindung keadilan, bukan alat represi. Tanpa reformasi hukum yang serius, perbaikan ekonomi pun akan timpang.
Pergantian Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa memang diharapkan bisa menjawab keresahan ekonomi. Namun, tanda-tanda perbaikan di sektor hukum justru belum terlihat. Kasus penangkapan aktivis pasca aksi 25 dan 28 Agustus, serta kematian Affan Kurniawan yang tak diusut tuntas, justru memperburuk kepercayaan publik. Ini menunjukkan masih kuatnya pola lama yaitu hukum dijalankan demi kekuasaan, bukan demi rakyat.
Jika pola ini terus berlanjut, akumulasi kekecewaan rakyat terutama anak muda akan sulit dibendung. Sejarah menunjukkan, ketika elit politik gagal membaca dan merespons keresahan publik, mereka berakhir tragis. Nepal menjadi contoh nyata, dan Indonesia bisa saja menyusul jika peringatan ini diabaikan. Semoga, para elit segera sadar bahwa jalan selamat hanya bisa ditempuh dengan keberanian memperbaiki ekonomi dan hukum secara fundamental.
Hasta La Victoria Siempre !
Penulis:
Muhammad Thaufan Arifuddin (Dosen FISIP UNAND)