Di Balik Aksi Massa Ada Ketimpangan Ekonomi Ekstrim

(Sebuah Catatan Kecil)

Oleh Muhammad Thaufan Arifuddin (Dosen FISIP UNAND)

Gelombang aksi massa yang belakangan viral di media sosial dari Pati, Bone, hingga Jakarta bukanlah sekadar letupan emosi yang tak berdasar. Aksi masyarakat di Pati (13/08/2025) dipicu oleh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Bupati Pati, Sudewo, juga malah bersikap arogan menantang rakyat untuk turun ke jalan melawan kebijakannya di Pati.

Tantangan itu tentu saja direspon oleh aliansi warga Pati yang secara cepat mengorganisir kekuatan, menyiapkan berbagai konsumsi, dan akhirnya mengepung kantor bupati Pati. Aksi jilid dua harusnya dilakukan oleh warga Pati, tapi batal karena intervensi dan kompromi dengan elit.

Kasus Pati membuka mata bahwa rakyat mulai berani mengorganisir kekuatan secara mandiri dan bersuara lantang dalam mengeritik kebijakan yang menindas mereka.

Gelombang aksi massa serupa juga terjadi di Bone (19/08/2025), ketika Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dinaikkan 300%. Massa menyasar kantor bupati yang ternyata bupatinya menghilang tak berani menghadapi aksi rakyat Bone.

Aksi massa lainnya terjadi pada tanggal 25 Agustus 2025 di depan gedung DPR, Ibukota Jakarta. Aksi ini tidak memiliki penanggungjawab selain ajakan aksi di platform media sosial atas nama Revolusi Rakyat Indonesia.

Aksi ini ternyata banyak melibatkan pelajar SMU, STM, dan SMK. Mereka aksi bukan hanya menolak kemewahan elit DPR, tapi mereka juga mencoba menolak narasi viral bahwa guru mereka adalah beban negara.

Justru DPR lah yang menjadi beban negara di benak mereka.

Aksi massa juga terjadi Kamis tanggal 28 Agustus 2025, ketika buruh, ojol, dan mahasiswa bergabung di jalanan. Siang hingga malam, massa bersatu menolak kebijakan yang menindas kelas pekerja dan menolak kemewahan irasional anggota DPR berupa kenaikan gaji dan tunjangan.

Aksi massa berubah menjadi tragedi ketika seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan dilindas mobil Brimob hingga meninggal dunia. Hal ini menyulut kemarahan publik dan memantik aksi serentak nasional pada Jumat tanggal 29 Agustus 2025.

Aksi Jumat kemarin diorganisir oleh elemen mahasiswa dan Ojol di seluruh Indonesia. Dampaknya sangat keos di berbagai tempat. Gedung DPRD bahkan dibakar di Makassar.

Dari aksi massa di Pati hingga Jakarta yang menjadikan seorang driver Ojol sebagai martir seolah mengisyaratkan bahwa elit politik telah melampaui batas, hidup bermewah-mewahan di tengah penderitaan rakyat.

Hal ini diperparah oleh beberapa anggota DPR yang terlihat berjoget dan melecehkan rakyat dengan bahasa verbal dan non-verbal mereka. Lalu mereka berlindung di ketiak aparat kepolisian yang dikenal publik korup, intimidatif dan tidak profesional selama ini.

Kekerasan aparat kepolisian yang terlihat di setiap aksi protes selama ini semakin memantik kemarahan elemen masyarakat sipil terutama mahasiswa dan Ojol.

Mengapa aksi-aksi ini bermunculan seolah berentetan?

Jawabannya bukan hanya soal kekerasan aparat hingga tragedi kematian Ojol, bukan sekadar kebijakan PBB, atau gaji plus tunjangan mewah anggota DPR, melainkan juga soal arogansi minim empati dan ketimpangan ekonomi yang semakin ekstrim di negeri ini. Elit politik menikmati privilese, fasilitas, dan kekayaan yang sangat timpang dari mayoritas rakyat.

Kelas bawah harus berjibaku dengan pendapatan pas-pasan bahkan kurang untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya. Inilah akar persoalan yang menyalakan kemarahan rakyat.

Data statistik Bank Dunia dan BPS menunjukkan kondisi ketimpangan ini dengan jelas. Pada 2024, hanya sekitar 17,13% penduduk Indonesia (47,85 juta orang) yang bisa disebut kelas menengah benaran. Sementara itu, hampir 49,22% (137,5 juta orang) masuk kategori aspiring middle class (AMC), yakni kelompok rapuh yang sewaktu-waktu bisa jatuh miskin. Bahkan 24,23% (67,69 juta orang) masuk kategori rentan miskin, dan 8,57% (24,06 juta orang) masih miskin absolut.

Di sisi lain, kelas atas yang menikmati seluruh kemewahan negeri ini hanyalah sekitar 0,38–0,46% dari total populasi.

Artinya, lebih dari 80% rakyat Indonesia berada dalam kondisi rentan secara ekonomi. Pendapatan kelas menengah saja rata-rata hanya berkisar Rp2–10 juta per bulan, jumlah yang jelas tidak mencukupi untuk biaya hidup perkotaan yang kian mahal, apalagi untuk keluarga. Sebaliknya, elit politik dan kelas atas hidup dalam kelimpahan, dengan gaji, tunjangan, dan akses terhadap kemewahan yang sama sekali tidak terjangkau rakyat banyak. Kontras inilah yang menjadi bahan bakar amarah sosial.

Alhasil, akar dari serangkaian aksi rakyat Pati, Bone, pelajar, hingga buruh, ojol, dan mahasiswa sesungguhnya adalah protes nyata terhadap jurang ketimpangan yang semakin tajam.

Selama beberapa dekade Indonesia berhasil tumbuh rata-rata 5,6% per tahun, namun buah pertumbuhan ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit saja. Jika tidak ada kontrak sosial baru yang memastikan redistribusi kesejahteraan, reformasi pajak, layanan publik yang lebih adil, dan perlindungan sosial yang lebih kuat, maka potensi revolusi sosial setiap saat bisa meledak seperti Jumat kemarin.

Rakyat sudah muak dan marah dengan kemewahan elit yang disertai arogansi dan minim empati atas penderitaan mayoritas rakyat Indonesia. Arogansi ini lalu dilindungi oleh aparat kepolisian yang korup dan intimidatif.

Antagonisme kaum 1 persen versus kaum 99 persen semakin terlihat nyata di usia Indonesia yang ke-80.

Hasta La Victoria Siempre !