Feodalisme di Dunia Pendidikan: Penghambat Emansipasi Intelektual

Di tengah semangat kemajuan dan digitalisasi, dunia pendidikan Indonesia masih menyimpan satu penyakit lama yang tak kunjung sembuh: feodalisme. Dalam berbagai bentuknya, feodalisme masih mengakar kuat, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ironisnya, ia tumbuh subur justru di ruang-ruang yang seharusnya menjadi ladang pembebasan: ruang kelas, ruang rapat guru, ruang dosen, dan ruang organisasi mahasiswa.

Feodalisme dalam pendidikan bukan sekadar soal hierarki formal antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa, atau kepala sekolah dan guru. Ia lebih dari sekadar struktur. Ia adalah budaya yang tunduk tanpa tanya, patuh tanpa logika, dan hormat tanpa ruang kritik. Dalam sistem ini, status lebih penting dari isi pikiran dan senioritas lebih dihargai daripada kapasitas.

Salah satu bentuk paling mencolok dari feodalisme pendidikan tampak dalam hubungan antara pengajar dan peserta didik. Guru dan dosen dipandang sebagai pemilik mutlak kebenaran, sementara murid dan mahasiswa hanya dianggap sebagai penerima pasif. Kritik terhadap pengajar—seberapapun ilmiah dan beralasan—kerap dianggap sebagai tindakan tidak sopan atau pemberontakan. Akibatnya, lahirlah generasi yang pandai menghafal, tetapi takut bertanya. Intelektual yang mahir mengutip banyak teori, tetapi ragu menyusun gagasan sendiri.

Feodalisme juga tercermin dalam sistem penilaian yang kerap tidak transparan dan cenderung subjektif. Penilaian bukan berdasarkan pencapaian objektif, melainkan pada kedekatan personal atau persepsi subjektif pengajar. Ini menciptakan iklim akademik yang tidak sehat, di mana mahasiswa lebih sibuk membangun citra baik di mata dosen daripada memperkaya kapasitas diri.

Tak hanya di ruang kelas, feodalisme juga hidup dalam struktur sosial antarpeserta didik, terutama di organisasi siswa dan mahasiswa. Di banyak sekolah dan kampus, istilah “senior” menjadi gelar tak tertulis yang membawa kekuasaan besar. Dalam banyak kasus, junior dipaksa mengikuti aturan yang tidak tertulis, menjalani “pengkaderan” yang tak jarang mengarah pada perpeloncoan, dan harus “tunduk” pada senior demi mendapat akses, informasi, atau posisi.

Budaya seperti ini tidak menciptakan pemimpin masa depan yang beretika, tetapi justru memperkuat watak otoriter dan membunuh potensi kolektif. Junior yang kritis dianggap ancaman, bukan aset. Organisasi menjadi miniatur kekuasaan, bukan wadah pembelajaran bersama.

Lebih dalam lagi, feodalisme juga bercokol dalam struktur birokrasi pendidikan. Kepala sekolah atau rektor sering diperlakukan seperti raja kecil. Kritik dari bawahan dianggap sebagai pembangkangan. Kebijakan diambil secara top-down, tanpa partisipasi yang bermakna dari guru, staf, atau mahasiswa. Proses rekrutmen, promosi jabatan, hingga distribusi sumber daya acap kali dipengaruhi oleh loyalitas ketimbang kompetensi.

Ketika sistem pendidikan dikelola dengan logika feodal, maka inovasi menjadi barang langka. Guru yang ingin mencoba metode baru dibatasi oleh “aturan lama.” Dosen yang berpikir kritis justru dicap sebagai pengacau. Pada akhirnya, lembaga pendidikan hanya menjadi mesin pengulang tradisi, bukan penggerak perubahan.

Feodalisme dalam pendidikan bukan sekadar persoalan budaya. Ia adalah ancaman serius bagi kualitas manusia Indonesia. Pendidikan semestinya mencetak individu yang merdeka, berpikir mandiri, berani berbeda, dan mampu mengkritisi dunia sekitarnya. Namun, jika sejak di bangku sekolah anak-anak diajarkan untuk patuh tanpa logika, bagaimana mungkin mereka tumbuh menjadi warga negara yang kritis dan partisipatif?

Dalam jangka panjang, feodalisme di dunia pendidikan akan mencetak generasi yang lemah mental, takut konflik, dan tak percaya pada kekuatan nalar. Negara akan kesulitan mencari pemimpin visioner bila dunia pendidikannya hanya melahirkan pengikut, bukan pemikir.

Perubahan harus dimulai dari kesadaran bahwa pendidikan bukan tempat untuk melanggengkan struktur kuasa, melainkan ruang untuk membongkarnya. Guru dan dosen perlu membangun relasi yang dialogis dengan peserta didik—menjadi fasilitator pembelajaran, bukan dewa pengetahuan. Organisasi siswa dan mahasiswa harus menolak praktik senioritas buta, dan kembali pada semangat kolektif yang membebaskan.

Lebih jauh, perlu ada reformasi dalam manajemen pendidikan: menciptakan budaya kerja yang terbuka terhadap kritik, mendorong partisipasi semua pihak, serta menghargai inovasi sebagai bagian dari profesionalisme. Sekolah dan kampus harus menjadi ruang yang mendorong siapa pun—tak peduli usia atau jabatan—untuk bersuara dan berkarya berdasarkan kapasitas, bukan posisi.

Feodalisme adalah warisan masa lalu yang tak punya tempat di dunia pendidikan modern. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang adil dan beradab, pendidikan harus menjadi tempat pertama yang menantang hierarki kaku dan dominasi otoritas. Saatnya kita menciptakan ruang belajar yang setara, dialogis, dan merdeka—karena hanya dalam kebebasanlah ilmu pengetahuan tumbuh dan manusia berkembang.

Penulis : Nofal Ramadhan