Oleh: Kevin Philip
Universitas Andalas kembali mencatatkan dirinya dalam drama tahunan yang memancing tanda tanya: “Sumbangan” yang katanya sukarela, tapi ternyata... wajib. Melalui surat resmi yang ditandatangani langsung oleh Rektor Dr. Efa Yonnedi, orang tua mahasiswa baru diminta—atau lebih tepatnya diwajibkan—untuk membayar sumbangan minimal Rp100.000 untuk Dana Wakaf dan/atau Dana Abadi kampus. Aneh? Sudah pasti. Ironis? Sangat.
Pertama-tama, mari kita luruskan pengertian: sumbangan bukanlah kewajiban. Wakaf adalah bentuk ibadah, dan sumbangan adalah bentuk solidaritas. Keduanya lahir dari keikhlasan, bukan dari surat edaran yang memuat angka pasti dan nada memaksa. Ketika sumbangan diberi label “minimal” tapi harus dibayar semua mahasiswa baru, maka itu sudah tidak lagi bisa disebut sumbangan. Itu paksaan berkedok kebaikan.
Dan seandainya masih ada yang berdalih, “Kan bisa diminta kembali,” mari kita bahas logika konyol di balik janji itu. Kampus menjanjikan pengembalian dana bagi yang keberatan, tapi tidak menyediakan mekanisme yang jelas: bagaimana cara mengajukan? Ke mana suratnya ditujukan? Berapa lama prosesnya? Apa jaminannya dana bisa kembali? Di tengah birokrasi UNAND yang lambat dan penuh ketidakpastian, janji ini terdengar seperti lip service untuk meredam kritik, bukan solusi nyata.
Nominal Rp100.000 mungkin terasa kecil bagi pejabat kampus yang terbiasa duduk di ruang ber-AC, tapi bagi sebagian mahasiswa, itu bisa berarti biaya hidup beberapa hari. Apakah kampus benar-benar tidak peka terhadap realitas sosial ekonomi mahasiswanya? Apakah kampus negeri sebesar UNAND, yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan publik, kini mulai mempraktikkan komersialisasi pendidikan secara halus?
Apa yang terjadi ini bukan soal besar atau kecilnya uang, tapi soal prinsip dan moralitas. Ketika kampus mulai menyamaratakan keikhlasan sebagai kewajiban, saat itulah kita sedang menyaksikan pergeseran nilai yang mengkhawatirkan: pendidikan publik menjadi ladang pemaksaan.
Lebih parah lagi, surat ini mencoreng wajah kampus yang sedang berupaya membangun reputasi sebagai institusi unggul. Wakaf dan dana abadi sejatinya adalah inisiatif mulia, tapi tidak bisa dibangun di atas dasar ketidaktulusan dan pemaksaan. Bukankah integritas dan transparansi seharusnya menjadi pilar utama sebuah universitas?
Kepada Rektor UNAND, ini bukan sekadar soal sumbangan seratus ribu. Ini soal keteladanan moral, soal kredibilitas kampus, dan soal keberpihakan pada mahasiswa serta keluarganya. Jika ingin membangun Dana Abadi, maka bangunlah dengan cara yang bermartabat. Jangan paksakan rakyat kecil untuk menambal kekosongan anggaran dengan dalih partisipasi.
Pak Rektor, mohon diingat: pendidikan bukan bisnis. Kampus bukan perusahaan. Mahasiswa bukan pelanggan. Dan sumbangan, sekali lagi bukan kewajiban.