Deforestasi atau penggundulan hutan, telah lama menjadi masalah besar di Indonesia. Salah satu faktor utama yang mempercepat hilangnya hutan di negeri ini adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit. Meskipun industri sawit berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional, baik dari segi ekspor maupun lapangan pekerjaan, dampak negatifnya terhadap lingkungan tidak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa tahun terakhir, laju deforestasi semakin meningkat, dan kebijakan pemerintah yang cenderung pro-industri justru memperparah situasi.
Ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu takut memperluas lahan sawit karena tanaman ini mampu menyerap karbon dioksida, banyak pihak langsung mengkritiknya. Pernyataan ini dinilai menyesatkan dan tidak berdasar, terutama jika melihat data dan fakta ilmiah terkait dampak perkebunan sawit terhadap ekosistem hutan tropis Indonesia.
Berdasarkan laporan Forest Digest, ekspansi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan hilangnya sekitar 30.000 hektare hutan Indonesia pada tahun 2023. Angka ini meningkat sekitar 36% dibandingkan tahun sebelumnya Sebagian besar pembukaan lahan terjadi di wilayah gambut, dengan total 10.787 hektare lahan gambut yang dikonversi menjadi kebun sawit. Ini menjadi alarm bahaya karena lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar, dan jika dibuka untuk perkebunan, karbon tersebut akan terlepas ke atmosfer, mempercepat pemanasan global.
Selain itu, laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menunjukkan bahwa sekitar 3,2 juta hektar hutan Indonesia telah berubah menjadi kebun sawit ilegal . Artinya, ekspansi sawit tidak hanya menjadi penyebab utama deforestasi, tetapi juga sarang bagi berbagai pelanggaran hukum. Banyak perusahaan sawit yang beroperasi tanpa izin, merusak kawasan konservasi, dan bahkan menyerobot tanah adat.
Sejak menjabat sebagai Presiden, Prabowo Subianto telah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial mengenai sawit dan lingkungan. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa kelapa sawit tidak merusak hutan karena sifatnya yang menyerap karbon dioksida. Pernyataan ini langsung mendapat kritik tajam dari para ilmuwan dan aktivis lingkungan.
Menurut para ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), menyamakan kelapa sawit dengan tanaman hutan adalah klaim yang tidak berdasar. Berbeda dengan hutan asli yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan mampu menyimpan karbon dalam jangka panjang, perkebunan sawit adalah monokultur yang tidak bisa menggantikan fungsi hutan tropis.
Selain itu, rencana pemerintahan Prabowo untuk membuka 20 juta hektar hutan untuk perkebunan sawit dianggap sebagai langkah mundur dalam komitmen Indonesia untuk mengurangi deforestasi. Padahal, dalam berbagai forum internasional seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29), Indonesia telah berjanji untuk menekan laju deforestasi dan beralih ke praktik pertanian berkelanjutan.
Dampak dari deforestasi akibat ekspansi sawit tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memicu berbagai masalah sosial dan ekonomi. Hutan Indonesia adalah rumah bagi banyak spesies yang terancam punah, seperti orangutan, harimau Sumatra, dan gajah Kalimantan. Ketika hutan dibuka untuk perkebunan sawit, habitat mereka hilang dan populasi mereka semakin terancam. Hal ini berdampak kepada krisis iklim yang semakin parah karena deforestasi adalah salah satu penyumbang utama emisi karbon dioksida. Ketika hutan ditebang atau dibakar untuk dijadikan lahan sawit, jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer sangat besar, yang pada akhirnya mempercepat perubahan iklim.
Blunder lain yang dilakukan Prabowo adalah ketika ia menyatakan bahwa aparat kepolisian dan militer akan dikerahkan untuk menjaga perkebunan sawit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena bisa membuka jalan bagi pendekatan represif dalam menangani konflik agraria.
Lembaga lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menilai bahwa pernyataan ini berisiko membuat perusahaan sawit semakin kebal hukum dan tidak tersentuh oleh regulasi lingkungan. Artinya, masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanahnya justru bisa dikriminalisasi dengan dalih mengganggu investasi. Pernyataan ini juga memperlihatkan ketimpangan dalam prioritas pemerintah. Alih-alih melindungi hutan dan hak masyarakat adat, negara justru lebih berpihak kepada industri sawit yang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.
Jika pemerintah benar-benar ingin menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, ada beberapa langkah yang bisa diambil yaitu pemerintah harus menghentikan sementara izin pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit. Sebagai gantinya, mereka bisa fokus pada peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada.
Selain itu juga harus diiringi dengan tindakan hukum yang tegas . Perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal harus ditindak tegas, termasuk mencabut izin mereka jika terbukti melakukan deforestasi dan merusak ekosistem. Melibatkan Masyarakat Adat dalam Pengambilan Keputusan juga sangat berpengaruh karena banyak masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana mengelola hutan secara berkelanjutan. Pemerintah harus melibatkan mereka dalam pembuatan kebijakan dan memberikan perlindungan hukum atas tanah mereka.
Deforestasi akibat ekspansi perkebunan sawit adalah masalah serius yang tidak bisa diremehkan. Pernyataan dan kebijakan Presiden Prabowo yang pro-industri sawit justru memperburuk situasi, menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada korporasi daripada lingkungan dan masyarakat. Alih-alih terus memperluas lahan sawit, Indonesia seharusnya fokus pada solusi yang lebih berkelanjutan. Dengan komitmen yang kuat dan kebijakan yang tepat, kita masih bisa menyelamatkan hutan Indonesia dari kehancuran lebih lanjut. Jika tidak, maka dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia mungkin akan kehilangan salah satu aset alam terbesarnya, dan dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat saat ini, tetapi juga oleh generasi yang akan datang.
Salah satu janji yang sering digaungkan pemerintah adalah kebijakan moratorium izin sawit sebagai upaya menekan deforestasi. Namun, dalam praktiknya, implementasi kebijakan ini justru melemah di bawah kepemimpinan Prabowo. Pengawasan terhadap perusahaan sawit yang melanggar aturan tidak berjalan optimal, dan banyak kasus pembukaan lahan ilegal yang tetap dibiarkan tanpa sanksi yang tegas.
Masalah utamanya terletak pada ketidaktegasan pemerintah dalam menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan. Banyak korporasi sawit yang membuka lahan secara ilegal, termasuk dengan metode pembakaran hutan, yang menyebabkan bencana kabut asap tahunan. Namun, tindakan pemerintah cenderung lemah, bahkan ada indikasi kompromi dengan kepentingan oligarki yang mendominasi industri ini.
Pemerintah kerap membanggakan industri sawit sebagai sumber devisa negara yang menyerap jutaan tenaga kerja. Namun, di balik narasi kesejahteraan ini, ada realitas pahit berupa penghancuran ekosistem, bencana ekologis, serta konflik sosial yang terus meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi akibat ekspansi sawit terus berlanjut meskipun ada klaim pemerintah tentang moratorium izin sawit dan reforestasi. Prabowo, yang selama ini dikenal dekat dengan kalangan pengusaha besar, tidak menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap isu lingkungan. Sebagai tokoh yang digadang-gadang akan melanjutkan kepemimpinan nasional, seharusnya ia lebih vokal dalam memperjuangkan kebijakan lingkungan yang progresif. Sayangnya, tidak ada langkah konkret yang menunjukkan keseriusannya dalam menekan deforestasi sawit.
Blunder terbesar Prabowo dalam isu lingkungan adalah proyek food estate. Dalam teori, proyek ini bertujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan membuka lahan pertanian baru di berbagai wilayah. Namun, dalam praktiknya, food estate justru menjadi dalih baru untuk eksploitasi lahan yang merusak lingkungan, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Banyak laporan menunjukkan bahwa proyek ini dibangun tanpa kajian ekologis yang matang. Alih-alih memanfaatkan lahan yang sudah ada, pemerintah justru membuka hutan primer dan lahan gambut yang seharusnya dilindungi. Akibatnya, selain merusak ekosistem, food estate juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang telah lama bergantung pada hutan. Ironisnya, proyek yang digagas Prabowo ini justru tidak mencapai target produksi pangan yang diharapkan. Lahan yang dibuka ternyata tidak subur dan sulit diolah untuk pertanian jangka panjang. Dengan kata lain, proyek ini tidak hanya gagal dalam aspek ketahanan pangan tetapi juga mempercepat laju deforestasi dengan justifikasi yang menyesatkan.
Jika Prabowo benar-benar memiliki visi jangka panjang untuk Indonesia, seharusnya ia mulai menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap kebijakan lingkungan. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menegakkan aturan moratorium sawit dengan tegas, menghentikan food estate yang tidak efektif, serta mendorong pengembangan pertanian berkelanjutan yang tidak merusak ekosistem.
Namun, melihat rekam jejaknya sejauh ini, harapan tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan. Jika kepemimpinan di masa depan tetap mengutamakan kepentingan oligarki dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan, maka jangan heran jika Indonesia akan terus kehilangan hutan dan hanya menyisakan krisis ekologis bagi generasi mendatang. Indonesia sudah kehilangan jutaan hektare hutan dalam beberapa dekade terakhir. Jika pola kebijakan ini terus berlanjut, maka dalam masa kepemimpinan Prabowo, kita bisa menyaksikan percepatan krisis lingkungan yang tak terelakkan. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah Prabowo akan tetap berpihak pada kepentingan oligarki, atau berani mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan hutan dan masa depan bangsa? Jawabannya akan sangat menentukan warisan apa yang akan ia tinggalkan bagi Indonesia.
Penulis : Fadhil dan Belvia