Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan pemerintah menuai beragam reaksi. Bagi sebagian pihak, kebijakan ini dianggap langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, tak sedikit yang menganggapnya sebagai beban baru, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara yang sempat terpuruk akibat pandemi. Selain itu, kebijakan ini juga disebut sebagai langkah untuk mengurangi defisit anggaran. Meski demikian, banyak pihak mempertanyakan apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Namun, tidak semua barang dan jasa akan dikenakan tarif PPN 12%. Pemerintah telah menetapkan pengecualian untuk beberapa kelompok barang dan jasa guna menjaga daya beli masyarakat, terutama bagi golongan menengah ke bawah. Barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, dan gula konsumsi akan tetap bebas dari PPN. Selain itu, jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, dan asuransi juga tidak dikenakan PPN. Dikutip CNN Indonesia, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% hanya akan diterapkan pada barang dan jasa mewah, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat umum.
Kenaikan PPN secara langsung memengaruhi harga barang dan jasa. Dampaknya, daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, berpotensi menurun. Meski pemerintah menyatakan bahwa barang kebutuhan pokok dan jasa esensial dikecualikan, kenyataannya kenaikan harga barang lain tetap akan memengaruhi stabilitas ekonomi rumah tangga. Kita sebagai mahasiswa perlu terus mengawal kebijakan ini dengan sikap kritis dan rasional. Kita tidak hanya sekadar menolak atau mendukung, tetapi juga menawarkan perspektif baru yang dapat menjadi alternatif solusi. Sebab, kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh diambil sembarangan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Pemerintah sering kali beralasan bahwa dana dari pajak digunakan untuk pembangunan. Namun, transparansi penggunaan anggaran masih menjadi persoalan besar. Tanpa pengelolaan yang jelas dan akuntabel, kebijakan ini hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat. Kritik ini bukan sekadar bentuk oposisi, tetapi ajakan kepada pemerintah untuk lebih bijaksana dalam menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab moral untuk terus mengawal kebijakan publik agar adil dan transparan. Ekonomi Indonesia baru saja pulih dari dampak pandemi, namun kebijakan ini berpotensi memperlambat pemulihan tersebut. Beban tambahan akibat kenaikan PPN akan dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menerapkan kebijakan seperti ini? Jika pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai dan langkah konkret untuk mengurangi dampak kenaikan ini, bukan tidak mungkin kebijakan ini akan memicu keresahan sosial yang lebih besar.
Namun, di balik narasi tersebut, kebijakan ini tampak kurang mempertimbangkan realitas sosial dan ekonomi masyarakat. Alih-alih menjadi solusi, kenaikan PPN justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah yang memiliki dampak luas. Namun, tanpa pembenahan menyeluruh terhadap aspek keadilan dan keberpihakan, kebijakan ini hanya akan memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan fiskal yang diambil tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan negara, tetapi juga pada kesejahteraan seluruh rakyat. Sebagai mahasiswa, kita perlu melihat kenaikan PPN menjadi 12% ini dari berbagai sudut pandang. Pemerintah beralasan bahwa langkah ini bertujuan untuk menambah pemasukan negara demi mengatasi defisit anggaran dan mendukung pembangunan. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar solusi terbaik, atau justru menciptakan masalah baru?
Kenaikan PPN bisa menjadi langkah yang lebih adil jika disertai dengan penyesuaian pajak progresif untuk barang mewah dan perlindungan lebih bagi kelompok masyarakat rentan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menyuarakan bahwa kebijakan publik harus mencerminkan keadilan sosial yang lebih luas, dan bukan semata-mata menguntungkan kelompok tertentu. Kebijakan perpajakan yang berkeadilan adalah salah satu pondasi utama untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan merata. Sebagai generasi muda yang akan mewarisi masa depan, kita perlu menjadi bagian dari gerakan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir golongan.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Beberapa pihak melihatnya sebagai upaya strategis untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi defisit anggaran, terutama setelah penurunan ekonomi akibat pandemi. Namun, banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini akan menambah beban bagi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah.
Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat menurunkan daya beli masyarakat. Menurut laporan dari Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN menjadi 12% dapat menyebabkan penurunan output ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp65,33 triliun. Selain itu, konsumsi rumah tangga diproyeksikan menurun signifikan hingga Rp40,68 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tarif PPN dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi pada November 2024 meningkat sebesar 1,12% dibandingkan awal tahun. Kenaikan PPN diperkirakan akan mendorong inflasi lebih lanjut, yang dapat meningkatkan harga barang konsumsi, termasuk kebutuhan pokok. Hal ini berpotensi menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Menyadari potensi dampak negatif tersebut, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12% secara menyeluruh. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kenaikan PPN hanya akan diterapkan pada barang dan jasa mewah, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat umum.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat dan perekonomian saat ini, guna menjaga daya beli dan menciptakan keadilan. Beberapa pihak mengkritisi rencana kenaikan PPN, dengan alasan bahwa hal tersebut dapat memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat menurun akibat tekanan harga barang, sementara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menghadapi kesulitan menyesuaikan margin keuntungan.
Selain itu, laporan dari Celios juga menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi. Pada tahun 2022, saat PPN naik dari 10% menjadi 11%, inflasi Indonesia meningkat tajam dari 1,56% menjadi 4,21%. Dengan tarif PPN 12%, inflasi diperkirakan bisa mencapai 4,11%, yang akan berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini berpotensi menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk membatasi kenaikan PPN hanya pada barang dan jasa mewah, guna menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat umum.
Penulis : Muhammad Fadhil, Belvia Adelya
Editor: Silvia Junisa