Panggung Rakyat: Menyuarakan Reformasi Yang Belum Tuntas

Padang, 24 Mei 2025 – Sabtu malam di Kota Padang tidak seperti biasanya. Di tengah udara yang mulai sejuk dan suara kendaraan yang semakin jarang terdengar, sekelompok orang berkumpul dalam satu titik cahaya di ruang terbuka. Bukan untuk konser besar, bukan pula pesta rakyat yang dirayakan oleh pejabat. Malam itu, mereka berkumpul untuk sesuatu yang lebih substansial—merefleksikan 27 tahun perjalanan reformasi Indonesia, dalam sebuah kegiatan yang diberi nama Panggung Rakyat.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan dimulai sejak pukul 20.00 WIB. Mengusung tema “Refleksi 27 Tahun Reformasi,” acara ini menawarkan lebih dari sekadar hiburan. Ia menjadi ruang alternatif untuk menyampaikan kritik, menyatukan keresahan, dan merayakan keberanian untuk tetap bersuara. Di tengah apatisme yang kerap dituduhkan pada generasi muda, Panggung Rakyat justru menunjukkan bahwa kesadaran politik dan sosial masih tumbuh—meski di ruang-ruang kecil yang nyaris tak tersentuh oleh media arus utama.

Format kegiatan pun mencerminkan semangat keterbukaan. Ada pembacaan puisi, musikalisasi puisi, orasi, penampilan solo song, serta lapak baca dan bazar gratis. Semua orang diberi kesempatan untuk berkontribusi. Tidak ada panggung tinggi yang memisahkan penampil dan penonton, semuanya berlangsung setara. Beberapa peserta membawa tikar dan duduk santai, sementara yang lain berdiri di sekitar sambil menyimak dengan serius.

Salah satu penampilan yang mencuri perhatian datang dari kelompok Musisi Kiri. Dengan irama akustik dan lirik tajam, mereka membawakan lagu-lagu yang mengkritik kesenjangan sosial, kekerasan negara, dan hilangnya hak-hak rakyat kecil. Musik mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak merenung. Dalam suasana yang santai tapi serius, suara mereka terasa seperti seruan yang telah lama ditahan.

Namun, momen yang paling menggetarkan hati datang saat sesi orasi. Salah satu perwakilan Himpunan Mahasiswa Papua (HIMAPA) maju ke depan dan menyampaikan pandangannya dengan nada getir namun penuh keberanian. Ia mengungkapkan bahwa otonomi khusus yang diberikan kepada Papua selama ini hanyalah bentuk formalitas yang tidak menyentuh akar persoalan.

“Otonomi khusus yang diberikan kepada Papua itu hanya omong kosong belaka,” ujarnya dengan tegas. “Jika Aceh boleh melantik kepala daerahnya di tanah mereka sendiri, mengapa kami yang dari Papua harus melakukan pelantikan di ibu kota yang jauh di sana?”

Orasi itu memunculkan keheningan sesaat, sebelum akhirnya disambut tepuk tangan panjang dan sorakan dukungan. Pernyataan itu membuka luka lama, tentang bagaimana negara kerap memperlakukan Papua dengan cara yang berbeda—dan bukan dalam arti positif. Ini menjadi momen reflektif yang kuat—bahwa perjuangan reformasi tidak berhenti pada jatuhnya rezim, tetapi terus bergulir dalam bentuk perlawanan sehari-hari.

Di sudut lain area acara, lapak baca menghadirkan deretan buku bertema sejarah perlawanan, politik rakyat, feminisme, hak asasi manusia, hingga antologi puisi perjuangan. Buku-buku ini boleh dibaca di tempat, dipinjam, bahkan dibawa pulang. Sementara itu, bazar gratis menyediakan pakaian bekas layak pakai, makanan ringan, dan berbagai barang kebutuhan dasar. Semuanya dikumpulkan secara swadaya oleh peserta dan panitia. Sebuah bentuk solidaritas nyata di tengah tekanan hidup yang kian berat.

Kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa dari Universitas Bung Hatta (UBH) dan kampus lainnya di Padang, tetapi juga oleh jurnalis dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Padang, komunitas seni, dan warga biasa yang kebetulan lewat lalu memutuskan berhenti. Keberagaman ini menjadi simbol bahwa perjuangan bukan hanya milik satu kelompok, tetapi hasil kesadaran kolektif.

“Ini bukan hanya acara seni atau diskusi,” ujar Faril, salah satu peserta yang hadir. “Ini adalah ruang pengingat bahwa demokrasi sejati lahir dari keberanian rakyat untuk bersuara dan berkumpul. Reformasi bukan soal masa lalu, tapi perjuangan yang terus berlanjut.”

Malam kian larut, tetapi energi tak kunjung surut. Setelah penampilan terakhir, peserta tetap bertahan—berdiskusi dalam kelompok kecil, bertukar buku dan nomor kontak, bahkan mulai merencanakan kegiatan lanjutan. Beberapa mahasiswa menuliskan kesan mereka di lembaran kertas yang disediakan panitia—sebuah dokumentasi kecil dari malam yang bermakna.

Di tengah narasi besar tentang keberhasilan reformasi, Panggung Rakyat mengingatkan kita bahwa banyak janji belum ditepati. Kekerasan negara masih terjadi, kebebasan sipil sering terancam, dan kesenjangan ekonomi makin tajam. Tapi selama masih ada yang bersedia berkumpul, bersuara, dan berbagi, maka api reformasi belum benar-benar padam.

Panggung Rakyat malam itu bukan sekadar acara seni dan orasi. Ia adalah wujud nyata dari keberanian sipil—sederhana, merakyat, dan penuh harapan. Sebuah pengingat bahwa ruang demokrasi sejati hanya bisa hidup jika rakyat sendiri yang menjaga dan mengisinya.