Diskusi Publik LBH Padang Soroti Kebebasan Ekspresi di Ruang Digital

Diskusi publik LBH Padang soroti upaya pembungkaman yang kini merambah ke ruang digital dan dalam konteks akademik. Diskusi yang bertajuk “Ekspresi yang Diawasi: Pembungkaman vs Perlawanan di Ruang Digital,” diselenggarakan pada 17 Oktober 2025. Diskusi ini menghadirkan rangkaian kegiatan mulai dari diskusi, pameran "Jejak Pembungkaman," hingga penampilan seni sebagai bentuk perlawanan budaya.

Acara ini secara spesifik menyoroti isu pembungkaman akademis yang dialami oleh media pers kampus Genta Andalas dan UKM Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Universitas Andalas (Unand).

Ketua UKM PHP Unand, Imelda, dalam sambutannya menegaskan bahwa organisasinya yang bergerak di bidang pergerakan dan kritik kebijakan kampus kerap menghadapi tekanan. "Instansi perguruan tinggi saja mampu membungkam organisasi-organisasi," ujarnya.

Imelda menceritakan praktik pembungkaman yang dilakukan oleh institusi pendidikan terhadap kegiatan mahasiswa yang bersifat kritis. "Mereka bertanya kepada kami mengapa kalian selalu membuat malu kampus sendiri... justru dengan kami kritisi para pemangku kebijakan bisa mengevaluasi program-program yang mereka buat," tegas Imelda, menekankan pentingnya kritik sebagai upaya perbaikan sistem birokrasi yang buruk.

Tak hanya organisasi, Imelda juga menyingkap teror yang dialami oleh teman-teman pers kampus independen. Ancaman berupa telepon, desakan untuk mencabut berita (takedown) yang dianggap negatif, bahkan ancaman terhadap nilai akademik, digunakan untuk membungkam suara kritis mahasiswa.

Senada dengan Imelda, LBH Padang melalui sambutan perwakilannya menekankan bahwa pembungkaman telah melampaui ruang publik fisik. "Pembungkaman bukan hanya di ruang publik tetapi lewat media seperti menyebarkan data-data kita yang paling privasi," sebut perwakilan LBH Padang, menegaskan hak setiap individu untuk bersuara tanpa rasa takut.

Calvin Nanda, Kepala Divisi Kampanye LBH Padang, memaparkan pengalaman organisasinya yang juga dibungkam setelah memberikan edukasi dan bersuara di ruang digital mengenai perjuangan hak asasi manusia, khususnya terkait penindasan, perampasan tanah, dan pembekuan perkumpulan masyarakat oleh pemerintah daerah.

Sementara itu, Nenden Sekar, Direktur Eksekutif SAFEnet, sebuah organisasi yang fokus pada hak-hak kemanusiaan di ruang digital, menyoroti betapa internet hadir sebagai sarana untuk berbagi, menyebarkan informasi, dan membangun jejaring. SAVEnet, kata Nenden, berjuang membebaskan ekspresi dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan melalui internet.

Menutup sesi diskusi, Akademisi Charles Simabura memberikan pandangan luas tentang dinamika kekuasaan. Ia secara efektif menolak budaya diam dan menekankan bahwa tindakan kolektif yang kini semakin beralih ke ruang digital adalah mekanisme pertahanan sipil terakhir untuk memastikan hak-hak konstitusional atas kebebasan bersuara dapat dinikmati, bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Mengakhiri acara, moderator Fakhri Hamzah dari AJI Padang menutup diskusi dengan penegasan, "Semua pengalaman yang kita dengar hari ini, dari ancaman di kampus hingga serangan digital, adalah bukti nyata bahwa upaya membungkam suara kritis tidak pernah berhenti. Tetapi, yang lebih jelas, adalah perlawanan tidak akan pernah padam. Hak kita untuk bersuara dijamin oleh konstitusi, dan perjuangan melawan intimidasi, baik di mimbar bebas, di ruang redaksi kampus, maupun di linimasa media sosial, harus terus berlanjut demi ruang demokrasi yang lebih sehat dan bebas dari ketakutan.”

Reporter: Dzakwan Deffa