Ketegangan antara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Universitas Andalas (UNAND) dan pihak kampus semakin mencuat, menyusul pemanggilan yang dinilai diskriminatif terhadap UKM tersebut. Dalam wawancara oleh tim Detak Alinea pada Senin (11/8/2025) malam hari, Ketua Umum UKM PHP, Imelda, menyampaikan sikap tegas terkait rencana penampilan mereka di acara BAKTI (Bimbingan Aktivitas Kemahasiswaan dalam Tradisi Ilmiah).
Sebelumnya, pihak kampus disebut telah mengizinkan UKM PHP tampil dengan syarat tidak membahas isu-isu yang ada di internal UNAND. Mekanisme pengawasan pun disebut cukup ketat: sebelum naik panggung, UKM PHP akan ditempatkan di ruang tunggu untuk dilakukan cross check kesesuaian materi oleh pihak kampus.
Namun, Imelda menegaskan bahwa organisasinya memiliki komitmen untuk tetap menyuarakan isu aktual, termasuk masalah yang terjadi di lingkungan kampus sendiri. “Bagaimanapun juga kami akan mengenalkan kepada mahasiswa baru Universitas Andalas tahun 2025 bahwa ada kasus yang terjadi di depan mata kalian. Kita tidak boleh menutup mata. Jangan hanya mendengarkan yang jauh sedangkan yang dekat kita abaikan,” tegas Imelda.
Menurutnya, pembatasan materi justru berpotensi mematikan fungsi kritis mahasiswa. Jika di ruang tunggu nanti mereka dicegah membawakan materi yang memuat isu internal kampus, UKM PHP siap mengambil langkah ekstrem: menolak tampil di dalam auditorium. “Kami tidak akan mengemis untuk tampil di dalam auditorium. Kalau dicegat, kami akan membuat mimbar bebas di luar auditorium,” ujarnya.
Kasus ini mencuat setelah pihak kampus memanggil UKM PHP karena penampilan UKM pada BAKTI 2024 kemarin yang dinilai “terlalu sensitif” karena menyentuh problem internal UNAND. Pemanggilan ini memicu kritik dari sejumlah kalangan yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat di lingkungan akademik.
BAKTI sendiri merupakan agenda resmi kampus untuk memperkenalkan berbagai unit kegiatan dan tradisi ilmiah kepada mahasiswa baru. Namun, momen ini juga sering dimanfaatkan organisasi mahasiswa untuk menanamkan nilai kritis dan kesadaran sosial-politik kepada mahasiswa baru.
Kasus UKM PHP ini memunculkan pertanyaan besar: apakah kampus masih memberikan ruang bagi diskursus kritis yang menyentuh isu internal, atau justru mempersempit ruang demokrasi dengan dalih menjaga citra institusi? Sikap Imelda yang memilih risiko tampil di luar auditorium ketimbang tunduk pada sensor menunjukkan eskalasi ketegangan antara idealisme mahasiswa dan otoritas kampus.
Jika rencana mimbar bebas benar-benar digelar, ini bukan sekadar aksi simbolis, melainkan pernyataan politik yang bisa memicu gelombang solidaritas mahasiswa lintas fakultas. Di sisi lain, pihak kampus berpotensi menghadapi sorotan publik yang lebih luas, baik dari media maupun aktivis kebebasan akademik.
BAKTI 2025 di UNAND bukan hanya akan menjadi ajang pengenalan organisasi mahasiswa, tetapi juga medan uji bagi sejauh mana kampus menghargai kebebasan berekspresi. Pilihan ada di tangan kedua pihak: apakah akan mencari jalan kompromi, atau bersiap menghadapi benturan langsung di hadapan ribuan mahasiswa baru.
Penulis: Nofal Ramadhan