Bisikan Reformasi Kepolisian Harus Terus Disuarakan: Kritik, Harapan, dan Solusi dari Diskusi Publik di Pustaka Steva

Padang, 2 Juli 2025–Reformasi institusi kepolisian kembali menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Kenapa Bisikan Reformasi Kepolisian Harus Terus Diudarakan” yang digelar di Pustaka Steva, Padang. Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Diki Rafiqi dan Mitra Oktavia dari LBH Padang, Ilhamdi Putra selaku akademisi, Indah Suryani dari WALHI Sumbar, serta Imelda Wahyuni, Ketua Umum PHP UNAND. Diskusi berlangsung dari pukul 20.00 hingga 23.00 WIB dan membahas berbagai persoalan sistemik dalam tubuh kepolisian.

Ilhamdi Putra menyoroti bahwa reformasi pasca 1998 tidak menyentuh institusi kepolisian secara mendasar.

“Ketika reformasi bergulir, tradisi penempatan polisi dan TNI aktif di jabatan sipil dihapuskan. Celakanya, kepolisian tidak ikut mereformasi institusinya. Bahkan, jumlah rekrutmen taruna Akpol justru ditambah setiap tahunnya seolah-olah mereka memiliki banyak pos, padahal kenyataannya tidak,” tegas Ilhamdi.

Ia juga mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai membuka kembali ruang bagi aparat aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil.

“Ini adalah bom waktu. Apalagi dengan usia dinas polisi yang diperpanjang. Semua ini adalah tanda bahwa institusi kepolisian enggan berbenah dan tidak relevan dengan tuntutan zaman,” tambahnya.

Diki Rafiqi dari LBH Padang mengingatkan kembali tentang mandat dasar kepolisian.

“Kerja polisi adalah menjadi pionir keamanan rakyat, bukan alat penyiksaan rakyat. Harapan saya, rakyat harus bisa mendapatkan penegakan hukum yang adil dan merasakan keadilan di masa depan,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Indah Suryani. Ia menyoroti peningkatan kekerasan aparat terhadap warga sipil, khususnya mahasiswa, selama pemerintahan Jokowi.

“Padahal, polisi telah dimandatkan oleh UUD untuk melindungi dan mengamankan masyarakat, bukan justru menakut-nakuti mereka,” ucapnya.

Imelda Wahyuni menyampaikan keprihatinan terhadap sikap mahasiswa saat ini  yang dinilainya semakin apatis terhadap isu-isu politik.

“Ketika mahasiswa lebih memilih aktivitas yang menghasilkan uang ketimbang mengkritisi kekuasaan, itu artinya mereka telah terjajah oleh sistem yang disetir elite penguasa. Ini sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi,” jelas Imelda.

Para pembicara sepakat bahwa reformasi kepolisian harus dimulai dari akar permasalahan, yaitu sistem dan paradigma institusinya.

“Rekrutmen harus diperbaiki, institusi harus direstrukturisasi, dan paradigma aparat sebagai pelindung rakyat harus ditanamkan kembali. Semua itu harus dilakukan melalui proses hukum dan pengawasan publik yang kuat,” tegas Indah Suryani.

Diskusi tersebut menegaskan bahwa reformasi kepolisian bukan sekadar isu internal lembaga, melainkan kebutuhan mendesak bagi keberlanjutan demokrasi dan perlindungan hak-hak sipil. Suara-suara kritis yang disuarakan dalam acara tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap normalisasi kekerasan dan otoritarianisme. Bisikan reformasi tidak boleh berhenti, karena keadilan hanya dapat tumbuh dalam institusi yang bersih dan berpihak kepada rakyat.

Penulis: Nofal Ramadhan