Diskusi Bulanan CAEJ: Mengungkap Aspek Sosiologis Bencana Ekologis

Detak Alinea, PadangCenter for Agraria and Environmental Justice (CAEJ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas (UNAND) kembali menggelar diskusi bulanan dengan menggandeng Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMASHI) UNAND. Diskusi bertajuk “Aspek Sosiologis dari Bencana Ekologis” ini berlangsung pada Rabu (12/2) di Ruang Sidang Dekanat Lantai 2 FISIP UNAND.

Acara ini menghadirkan Afrizal, dosen Sosiologi Universitas Andalas, sebagai pembicara utama, serta Didi Rahmadi, dosen FISIPOL Universitas Muhammadiyah Sumbar, sebagai moderator. Diskusi yang dihadiri oleh mahasiswa, dosen, serta tamu undangan ini berlangsung interaktif, dengan peserta aktif mengajukan pertanyaan dan menyampaikan pandangan kritis.

Dalam pemaparannya, Afrizal menyoroti bagaimana wacana tandingan sering kali menutupi penyebab utama bencana ekologis. “Ada narasi yang menyatakan bahwa teknologi modern dan ekspansi perkebunan sawit tidak berkontribusi terhadap bencana ekologis, melainkan faktor alamiah yang menjadi penyebabnya. Narasi ini mempersulit upaya mengatasi akar masalahnya,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya berpikir kritis dalam menghadapi narasi semacam ini. “Setelah diskusi ini, harapannya kita lebih sadar bahwa wacana seperti ini sering digunakan untuk mengalihkan perhatian dari isu yang sebenarnya,” tambahnya.

Wilson Novarino, dosen Biologi UNAND, mengangkat isu hilangnya keanekaragaman hayati akibat perubahan gaya hidup dalam sesi Tanya jawab. Ia mencontohkan bagaimana kasur kapuk yang dahulu umum digunakan kini tergantikan oleh kasur busa dan bantal berbahan dakron. “Jika ingin melestarikan keanekaragaman hayati, tidak cukup hanya dengan pendekatan ilmu eksakta, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial,” ujarnya.

Menanggapi hal ini, Afrizal menekankan pentingnya analisis sosial sebelum menerapkan kebijakan konservasi. “Misalnya, untuk melestarikan harimau, kita perlu memahami bagaimana mendapatkan dukungan masyarakat setempat terlebih dahulu,” ungkapnya.

Pembicara juga membahas tantangan di era post-truth, di mana kebenaran menjadi kabur akibat pengaruh emosi dan kepentingan ekonomi serta politik. “Di era ini, pelaku industri sering membentuk opini publik dengan mengaburkan fakta demi kepentingan bisnis mereka. Misalnya, perusahaan besar bisa saja mengklaim bahwa deforestasi dan ekspansi perkebunan tidak berdampak buruk, meskipun data ilmiah menunjukkan sebaliknya,” jelasnya.

Untuk mengatasi fenomena ini, ia menekankan pentingnya meningkatkan literasi kritis masyarakat. “Masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif agar tidak mudah termakan narasi yang membenarkan eksploitasi lingkungan,” tambahnya.

Sebagai tindak lanjut diskusi, salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah penyediaan galon atau dispenser air minum di berbagai titik di kampus, serta kewajiban bagi civitas akademika untuk membawa tumbler guna mengurangi sampah plastik. Usulan ini disampaikan oleh moderator sebagai langkah konkret dalam mendukung keberlanjutan lingkungan di lingkungan akademik.

Diskusi ini tidak hanya memberikan wawasan mengenai aspek sosiologis dalam isu bencana ekologis, tetapi juga mendorong peserta untuk lebih kritis dalam melihat keterkaitan antara struktur sosial, kebijakan, dan dampak lingkungan. Dengan meningkatnya kesadaran kritis terhadap narasi yang berkembang di masyarakat, diharapkan langkah nyata dalam menjaga lingkungan dapat semakin kuat dilakukan.

Penulis: Chalid Fajrul Akbar