Setiap manusia memiliki alasan untuk terlahir dan diciptakan ke muka bumi; tidak ada satupun manusia yang diciptakan tanpa maksud dan alasan. Bahkan, bukan hanya manusia, tetapi setiap hal yang tercipta dan hadir pasti memiliki makna, tujuan, serta fungsinya masing-masing. Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa hakikat hidup manusia? Apa tujuan kita diciptakan? Untuk apa kita hadir mengisi ruang-ruang di muka bumi ini? Mengapa kita harus ada?
Di antara banyak ragam jawaban yang mungkin dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, hakikatnya, hanya ada dua hal mendasar yang harus dilakukan setiap manusia, siapapun orangnya. Jika kita ingin menjalankan peran dan fungsi kita sebagai manusia seutuhnya, ada dua hal fundamental dan esensial yang wajib dilakukan, yaitu berbuat baik kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Apa pun latar belakang seseorang, ketika ia ingin menjalankan peran dan fungsinya sebagai manusia yang utuh, tahap awal yang mendasar dan harus tertanam dalam dirinya adalah bahwa ia harus berbuat baik kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta. Tuhan adalah sosok yang memprakarsai terciptanya alam semesta, menciptakan seluruh isinya yang begitu luas, bahkan tak terbayangkan oleh imajinasi kita tentang karya-karya-Nya yang beragam itu. Kita tidak akan pernah sanggup membayangkan betapa banyaknya bintang, galaksi, planet, dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang tak pernah kita ketahui. Betapa Maha Dahsyat dan Agungnya ciptaan dan mahakarya-Nya. Berbuat baik kepada Tuhan berarti mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Secara sederhana, dalam ajaran Islam, hal ini berarti menikmati yang halal, menjauhi yang haram, dan melakukannya hingga akhir hayat kita. Ini adalah tahap pertama yang esensial dan mampu dilakukan oleh setiap manusia.
Hal kedua adalah berbuat baik kepada sesama manusia. Ini harus selaras dan koheren dengan yang pertama, sebab kedua hal ini bukanlah aspek dikotomis atau biner yang harus dipilih salah satu, melainkan senafas dan inheren. Apa gunanya berbuat baik kepada Tuhan—rajin sholat, mengaji, berhaji setiap tahun—jika perbuatan kita kepada sesama manusia buruk? Sering mencaci, menggunjing, menghina, menista, dan menyakiti sesama, hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip yang pertama. Manusia tersebut tidak valid menjadi manusia seutuhnya apabila hanya salah satu yang dilakukan. Oleh karena itu, berbuat baik kepada sesama manusia, baik tua maupun muda, perempuan atau laki-laki, apapun latar belakangnya, adalah wajib. Sebagaimana yang disampaikan Gus Dur, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptaNya, merendahkan dan menista manusia berarti merendahkan dan menista pencipta-Nya.”
Jikalau manusia tersebut tidak membalas kebaikan kita atau tidak memperlakukan kita sama sebagaimana yang kita lakukan, itu bukan tanggung jawab kita. Yang menjadi tanggung jawab kita adalah berbuat baik kepada orang lain. Mau bagaimanapun respon orang tersebut, itu sudah bukan dalam kendali dan tanggung jawab kita. Apakah orang tua kita membesarkan, merawat, mengasihi, dan menyayangi kita hanya karena kita baik kepada mereka? Apakah kita berbuat baik kepada orang asing—misalnya, kepada korban perang di Palestina—karena mereka terlebih dahulu berbuat baik kepada kita? Jawabannya jelas tidak demikian! Jika kita mau berbuat baik kepada orang lain, lakukanlah tanpa pamrih, tanpa alasan lain kecuali untuk menjalankan fitrah kita sebagai manusia yang utuh.
Setelah kita menyadari kedua hal fundamental tadi—berbuat baik kepada Tuhan dan baik kepada manusia—, kita juga perlu mengembangkan keterampilan dalam hubungan interpersonal. Tanpa kehadiran orang lain, kita tidak akan merasakan berbagai persoalan atau kebahagiaan. Setiap individu pasti membutuhkan orang lain, seperti yang dikatakan Adler bahwa semua masalah berakar dari hubungan interpersonal.
Salah satu yang berkaitan mengenai hubungan interpersonal adalah menyadari bahwa hidup bukanlah persaingan, melainkan sarana untuk menjalin harmoni dan bersinergi mencapai tujuan mulia, yang mana semua itu berakar dari bagaimana cara kita memandang realitas dan hakikat kehidupan.
Misalnya, jika kita melihat hidup sebagai persaingan, kita mungkin merasa harus mengalahkan orang lain untuk meraih kejayaan. Saat mengejar target, kita mungkin berpikir perlu menjatuhkan atau menyingkirkan orang lain. Sebaliknya, ketika orang lain berhasil, kita merasa kalah, gagal, dan tersisih. Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, iri hati, dan ketidakmampuan untuk memberikan selamat dengan tulus kepada orang lain.
Namun, jika kita mengubah sudut pandang dan menganggap orang-orang di sekitar kita sebagai ‘kawan seperjuangan’, kita tidak akan terjebak dalam pikiran menang-kalah. Melihat orang lain sebagai kawan seperjuangan memungkinkan kita memberikan pertolongan dan ucapan selamat dengan tulus atas keberhasilan mereka. Selain itu, hati dan jiwa kita pun menjadi lebih damai dan tentram, karena tidak ada kekhawatiran saat melihat pencapaian orang lain.
Pada akhirnya, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebencian. Perasaan damai, tenteram, dan harmoni bisa kita ciptakan jika kita mau. Hanya saja, terkadang kita kesulitan mengenali dan menyadari berbagai perasaan yang melintasi hati dan pikiran kita, sehingga kita mudah terbawa suasana.
Penulis: Pijar Qolbun Sallim, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
No. Hp: +62895-3910-48183 Email: