Melansir dari dari Kompas.com, pada 22 September 2024 World Bank merilis laporan bahwa harga beras di Indonesia paling tinggi di antara negara-negara di ASEAN. Carolyn Turk selaku Kepala Perwakilan Bank Dunia Untuk Indonesia dan Timor Leste mengatakan, “Kebijakan yang mendistorsi harga ini menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian. Kami memperkirakan, konsumen Indonesia membayar hingga 20 persen lebih mahal untuk makanan mereka.” Bank Dunia telah mencatat bahwa meningkatnya variabilitas iklim menimbulkan risiko potensial terhadap produksi pertanian, yang menyebabkan kemungkinan lebih tinggi terjadinya penurunan hasil panen dan gagal panen, yang pada gilirannya memperburuk volatilitas harga pangan. Oleh karena itu, Bank Dunia menekankan pentingnya mengelola risiko ini, karena harga pangan di Indonesia sudah meningkat secara struktural.
Indonesia dengan topografi yang kaya akan tanah yang subur dan beriklim tropis tetapi realitanya pemerintah Indonesia belum mampu menguasai SDA untuk kesejahteraan bersama . Kenaikan harga beras di Indonesia merupakan isu krusial dan kompleks yang melibatkan banyak dinamika ekonomi domestik maupun internasional yang mempengaruhi ketersediaan dan harga pangan.
Lalu bagaimana peran Pemerintah Indonesia dalam menyikapi permasalahan ini? Peran Pemerintah Indonesia tentu memainkan posisi penting dalam pengaturan harga beras melalui berbagai kebijakan, seperti pengendalian impor, operasi pasar, dan subsidi bagi petani. Tetapi lucunya Indonesia masih mempertahankan impor beras. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras selama tahun 2023 menyentuh angka 3,06 juta ton, melambung 613,61 persen dari tahun 2022 yang hanya mencapai 429 ribu ton. Bisa ditegaskan, volume impor beras dari periode Jokowi menjabat tahun 2019-2023 diketahui paling besar.
Ironis dan miris melihat nasib petani yang kian hari semakin pupus pengharapannya jika hal ini terus berlanjut tanpa kesiapan efektif dari pemerintah. Jika fungsi proteksionis yang diprioritaskan pemerintah untuk menjaga ketahanan nasional namun menumbangkan petani secara perlahan-lahan, kerja wae, rego beras sing diatur, subsidi enggal mudhun hal hal tersebut adalah tradisi kuno penjajah menjadikan kaum proletar sebagai bawahan/budak, tidak heran melihat realita di NKRI sekarang. Petani adalah bahagian masyarakat sipil yang musti dilindungi dan dijamin hak-haknya.
Lalu naiknya harga beras juga menyebabkan turunnya pendapatan para petani. Dari Hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari 1 dolar AS atau sekitar Rp. 15.199 per hari. Menurut Ahli Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Avuciabi Kartabi menyatakan terdapat dua penyebab pendapatan petani di Indonesia tidak sebanding dengan harga jual beras.
Persoalan pertama mahalnya biaya produksi yang terus meningkat. Mulai dari pupuk, pestisida, hingga bibit. Bahkan barang yang dibutuhkan oleh para petani untuk menghasilkan beras berkualitas terkadang tidak tersedia dan langka. Lalu bagaimana subsidi pupuk dari pemerintah? Mungkin ini perlu dievaluasi dari sisi produksinya saat kabinet baru telah dilantik. Persoalan kedua, kecilnya kemungkinan untuk kesejahteraan petani. Karena nilai tukar biaya produksi yang ditanggung petani, ditambah biaya-biaya terkait dengan konsumsi rumah tangga tani yang juga kian meningkat.
Selain itu, kembali pada permasalahan iklim, petani juga menggantungkan nasib hasil panen mereka pada musim dan cuaca. Fenomena El Nino dan La Nina berdampak signifikan terhadap produktivitas pertanian. Mengenai konteks kenaikan harga beras di Indonesia, kita dapat melihat bahwa negara ini berada dalam posisi yang rentan akibat ketergantungannya pada faktor-faktor eksternal seperti perubahan iklim global dan fluktuasi harga pasar internasional. Teori Dependensi membantu menjelaskan bagaimana struktur ekonomi global membuat Indonesia sulit mencapai kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Teori ketergantungan atau dependensi menurut Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa keterbelakangan negara berkembang adalah akibat dari hubungan eksploitasi historis dan berkelanjutan dengan negara maju yang bersifat tidak saling menguntungkan melainkan subordinatif dan eksploitatif. Diantara contohnya yang sedang terjadi saat ini kita ketergantungan pada impor beras, ketergantungan pada teknologi asing, dan terkendala struktural dalam ekonomi domestik
Kenaikan harga beras di Indonesia mencerminkan tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia yang harus dihadapi dalam mengelola perekonomian pangan dan kesejahteraan terhadap masyarakat sipil. Melalui lensa Teori Dependensi, kita dapat memahami bahwa kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah juga dipengaruhi oleh keadaan internasional yang melekat pada perekonomian global. Tetapi, ditegaskan sekali lagi, pemerintah harus lebih memperhatikan nasib petani dan menyiapkan strategi yang komprehensif serta berkelanjutan untuk memperkuat sektor pertanian domestik.
Penulis: Indriani Ratu Kendedes