Dorong Industri Kreatif Indonesia di Era Digitalisasi

Seminar Penyiaran dan Perfilman Indonesia sukses digelar pada Senin (30/09/2024) yang bertempat di Gedung Serbaguna Hukum Universitas Andalas, dengan menghadirkan narasumber berpengaruh dan kompeten di bidangnya. Ubaidillah sebagai Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Naswardi sebagai Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), dan Yuliandre Darwis sebagai salah satu Produser Film di Indonesia. 

Seminar yang yang dihadiri oleh dosen, dan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi dari berbagai universitas se-Kota Padang ini, mengusung tema “Kebijakan dan Tantangan Penyiaran dan Perfilman di Era Digital”, seminar ini membahas sejumlah isu penting yang tengah dihadapi oleh industri kreatif Indonesia, khususnya dalam menghadapi tantangan era digital. 

Salah satu topik utama yang dibahas adalah bagaimana penyiaran dan perfilman bertransformasi di tengah perkembangan teknologi dan platform digital, seperti layanan streaming dan media sosial yang semakin mendominasi konsumsi media masyarakat. 

“Kita sudah memasuki era society 5.0 dan itu semua adalah bagian dari perubahan teknologi digitalisasi, dari konvensional ke digital, dan itu berpengaruh terhadap semua ekosistem, baik penyiaran maupun perfilman,” ungkap Naswardi. 

Sejalan dengan hal itu, perfilman Indonesia sudah semakin merangkak lebar dengan mengeluarkan berbagai film-film dan series berkualitas yang hadir di tengah masyarakat modern. Saat ini, sudah terdapat 20 judul film layar lebar yang memiliki lebih dari 1 juta penonton, seperti KKN di Desa Penari, Agak Laen, Warkop DKI Reborn, hingga Dilan. 

Namun sayangnya, semua kesuksesan tersebut tetap ada tantangan yang dihadapi para industri kreatif. Misalnya, Indonesia saat ini belum memiliki teknologi CGI (Computer Generated Imagery) yang mumpuni. Oleh karena itu, pengerjaan yang membutuhkan efek CGI ini akan dikerjakan di Korea Selatan atau Thailand yang memang sudah maju teknologi ini.

Tantangan lainnya ialah, industri kreatif Indonesia masih kekurangan penulis skenario yang teruji dan memiliki pengalaman baik. 

“Indonesia saat ini paling susah mencari penulis skenario yang teruji, dan juga nama-nama penulis skenario sekarang masih itu-itu saja, seperti Gina S. Noer, Joko Anwar. Butuh nama-nama baru di industri film saat ini,” terang Naswardi.

Menayangkan film, series, atau hiburan lain, diperlukan pengawasan ketat dari KPI. Ubaidillah menjelaskan, setidaknya terdapat 3 Pilar Pengawasan KPI. Pertama, Pilar Kelembagaan (Indeks dan Literasi). Kedua, Pilar Pengawasan Isi Siaran (Bimtek dan Pengembangan SDM). Ketiga, Pilar PKSP (Penyesuaian Regulasi). 

Tiga pilar tersebut yang mengawasi seluruh siaran yang disiarkan secara publik, baik di televisi dan radio. Sehingga, program-program juga harus disesuaikan secara umur agar tidak mempengaruhi perkembangan mental dan moral seseorang, terkhususnya anak-anak.

Naswardi juga mendorong generasi muda untuk berperan dan terlibat aktif dalam industri kreatif. Karena, dalam pembuatan satu film saja, memerlukan 99 profesi profesional dalam produksinya. 

“Ada sekitar 500 ribu tenaga kerja untuk membangun ekosistem perfilman di Indonesia. Maka dari itu, dibutuhkan lebih banyak pekerja yang mahir di bidang industri kreatif untuk memajukan perfilman Indonesia,” tutup Naswardi.

 

Penulis: Atikah

Editor: Silvia Junisa