Ribuan massa dari berbagai elemen menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRD Sumatera Barat, Senin (1/9) sore. Aksi yang dimulai sekitar pukul 14.00 WIB hingga menjelang Magrib itu diikuti oleh aliansi BEM se-Sumbar, Cipayung Plus Kota Padang, pengemudi ojek online, hingga masyarakat sipil. Namun, perhatian publik justru tertuju pada kehadiran sejumlah guru honorer yang bergabung di tengah massa.
Para guru honorer yang datang membawa poster karton dengan tulisan tegas “Guru Bukan Beban Negara”. Mereka juga menuntut transparansi dana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, penyederhanaan administrasi terutama dalam pengurusan gaji, serta pengusutan tuntas praktik korupsi di dunia pendidikan.
“Kami hadir karena ingin menyampaikan keresahan kami secara langsung. Guru honorer masih banyak yang gajinya di bawah standar, bahkan sering terhambat karena administrasi yang rumit. Kami bukan beban, justru yang menanggung beban berat adalah kami,” ujar seorang guru honorer sambil mengangkat posternya.
Kehadiran guru honorer ini semakin menonjol karena sehari sebelumnya Dinas Pendidikan Kota Padang telah mengeluarkan surat edaran resmi bernomor 400.3/45/Dikbud-Pdg/VIII/2025. Surat edaran itu menetapkan seluruh aktivitas pembelajaran PAUD, SD, dan SMP pada 1 September dilaksanakan secara daring. Kebijakan ini diambil untuk mengantisipasi kepadatan lalu lintas serta menjaga keamanan peserta didik selama aksi berlangsung.
Alih-alih hanya mengikuti pembelajaran jarak jauh dari rumah, beberapa guru honorer memanfaatkan momentum libur sekolah itu untuk menyampaikan aspirasinya di jalanan. Mereka menilai, selama ini suara guru sering luput dari perhatian dalam wacana kebijakan pendidikan nasional.
“Kami sudah lama terhimpit dengan gaji yang tidak sebanding, bahkan sering telat cair karena birokrasi yang berbelit. Kalau pendidikan dianggap investasi masa depan bangsa, mengapa guru masih diperlakukan seperti ini?” kata seorang guru lainnya dalam orasi singkatnya.
Selain isu pendidikan yang dibawa guru, massa aksi juga menyuarakan sejumlah tuntutan politik dan hukum. Beberapa di antaranya adalah pengesahan RUU Perampasan Aset, penghapusan tunjangan DPR yang dinilai memboroskan anggaran, serta pemecatan anggota DPR yang sebelumnya sempat heboh berjoget di kantor dewan karena kegirangan tunjangan mereka naik.
Tuntutan lainnya yang menggema adalah desakan untuk menurunkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mencopot Menteri HAM yang dinilai diam saja saat seorang driver ojek online dilindas kendaraan anggota kepolisian, hingga menurunkan Kapolri yang dianggap gagal karena banyak kasus mencuat selama masa jabatannya. Massa juga meminta pengusutan tuntas terhadap pelaku kepolisian yang menabrak driver ojol menggunakan kendaraan barracuda.
Latar belakang aksi ini semakin menguat dengan polemik yang sempat heboh di publik beberapa waktu lalu. Sebuah pernyataan yang dikaitkan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani beredar luas, menyebut “guru beban negara.” Walau kemudian diklarifikasi bahwa pernyataan tersebut dibuat oleh kecerdasan buatan (AI), narasi itu sudah terlanjur menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan tenaga pendidik.
Sejak dimulainya aksi, demonstran terus bergantian menyuarakan orasi. Isu-isu pendidikan berpadu dengan desakan politik dan hukum, membuat suasana semakin ramai menjelang sore. Barisan guru honorer ikut maju ke depan, memperkuat pesan bahwa persoalan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari agenda besar perlawanan rakyat.
Aksi berlangsung hingga menjelang Magrib dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. Meski menyebabkan kemacetan di sekitar gedung DPRD Sumbar, jalannya demonstrasi relatif kondusif.
Kehadiran guru honorer dalam aksi ini memberi pesan kuat: keresahan dunia pendidikan tidak lagi sekadar isu akademis atau tuntutan mahasiswa, tetapi juga jeritan nyata dari tenaga pendidik yang selama ini berada di garda depan. Mereka berharap suara mereka tidak hanya bergema di jalanan, tetapi benar-benar didengar dan dijawab oleh pemerintah.
Penulis: Ghaza Alfatih