Padang, 14 Mei 2025 – Detak Alinea FISIP Universitas Andalas menggelar diskusi publik bertajuk “Etnografi, Jurnalisme, dan Sistem Pendidikan Tinggi di Irlandia” pada Rabu, 14 Mei 2025. Kegiatan ini dilaksanakan dalam dua sesi dengan total partisipasi lebih dari 80 mahasiswa, khususnya dari program studi Ilmu Komunikasi.
Sesi pertama dimulai pukul 07.30 WIB di ruang F2.4 Gedung Belajar Universitas Andalas. Diskusi yang diinisiasi oleh Muhammad Thaufan Arifuddin, S.Sos., M.A., dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNAND, ini dihadiri oleh sekitar 35 mahasiswa. Pada sesi ini, Thaufan mengangkat isu mulai hilangnya budaya Minangkabau, terutama di sektor UMKM dan pertanian. Diskusi berlangsung secara partisipatif dan dilanjutkan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) untuk mendorong mahasiswa agar lebih kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.
“Saya ingin mereka (mahasiswa) bisa mengadvokasi budaya lokal yang mulai menghilang,” ujar Thaufan dalam wawancara usai acara. Ia juga menyampaikan harapannya agar mahasiswa lebih aktif berpikir kritis, rajin membaca buku, dan lebih peduli terhadap isu-isu budaya dan sosial yang ada di sekeliling mereka.
Hadir pula Camilla Torres, mahasiswa dari Cork University, Irlandia, yang membagikan pandangannya tentang studi lintas budaya dan jurnalisme etnografi dalam sesi talkshow yang dimoderatori oleh Azmi Muzammil, mahasiswa Hubungan Internasional.
Sesi kedua dilanjutkan pada pukul 10.00 hingga 12.00 WIB di ruang F1.12. Sesi ini dihadiri oleh sekitar 50 mahasiswa dan kembali menghadirkan Camilla Torres, mahasiswa dari Cork University, Irlandia. Dalam sesi ini, Camilla membahas lebih dalam mengenai perbandingan jurnalisme di Irlandia dan Indonesia, serta tantangan yang dihadapi dalam praktik jurnalisme lintas budaya.
Beberapa poin penting yang menjadi sorotan dalam sesi kedua antara lain fenomena hilangnya kebudayaan akibat kapitalisme, prinsip-prinsip dasar jurnalisme etnografi, serta pentingnya membaur dengan masyarakat dalam praktik jurnalistik. Menurut Camilla, menjadi jurnalis etnografi tidak membutuhkan peralatan canggih. “Kuncinya bukan alat, tapi kemampuan bergaul dan memahami masyarakat secara langsung,” ungkapnya.
Mahasiswa tampak antusias dalam sesi tanya jawab, berdiskusi langsung dengan Camilla terkait praktik jurnalisme, perbedaan budaya, serta tantangan komunikasi yang ia hadapi selama berada di Indonesia. Melalui diskusi ini, diharapkan mahasiswa tidak hanya memahami tantangan pendidikan dan jurnalisme lintas budaya, tetapi juga terdorong untuk lebih aktif menjaga dan mengangkat nilai-nilai budaya lokal di tengah arus globalisasi.
Penulis : Shielsa Nurhayyuni