Munisipalisme Libertarian dan Paradoks Demokrasi di Indonesia

Oleh: Dharma Harisa

Pendahuluan

Dalam politik kontemporer, konsep demokrasi selalu dijual sebagai sebuah janji yang tak pernah terpenuhi sepenuhnya. Setiap kali kita mendekati Pemilu, Pilpres, atau Pilkada, janji-janji para calon pemimpin—yang katanya merepresentasikan suara rakyat—bertebaran dalam narasi-narasi penuh kemunafikan. Di balik semua itu, Munisipalisme Libertarian menawarkan kritik tajam terhadap struktur kenegaraan yang mendominasi dunia, termasuk di Indonesia. Sebuah kritik yang, secara implisit, membongkar ilusi demokrasi yang dipraktikkan melalui sistem perwakilan politik modern. Sistem yang dalam Munisipalisme Libertarian tak lain adalah penjara modern bagi kehendak rakyat.

Berbeda dengan demokrasi perwakilan yang dianut mayoritas negara, Munisipalisme Libertarian menolak struktur kenegaraan yang konvensional. Menurut teori ini, negara tidak dapat mempraktikkan demokrasi sejati. Mengapa? Karena negara dibangun di atas dasar kekuasaan yang terpusat, di mana sekelompok elit kecil menguasai mayoritas. Di Indonesia, sistem politik perwakilan mengklaim sebagai manifestasi demokrasi, padahal di balik itu, ia tak ubahnya pemerintahan oligarki yang menyamar sebagai demokrasi.

Sebuah sistem di mana politisi adalah aktor utama, bukan rakyat. Mereka berbicara atas nama partai, bukan atas nama kepentingan publik. Semua ini terjadi pada setiap lapisan pemilihan, baik itu Pemilu nasional, Pilpres, maupun Pilkada lokal. Munisipalisme Libertarian menawarkan alternatif: politik langsung yang menolak partai politik dan sistem perwakilan formal. Pada intinya, Munisipalisme Libertarian mempromosikan pertemuan komunitas langsung (face-to-face), di mana warga negara memutuskan sendiri nasib mereka tanpa perantara politisi.

 

Ilusi Demokrasi dalam Pemilu dan Pilkada: Sistem yang Terperangkap

Di Indonesia, Pemilu sering digembar-gemborkan sebagai puncak demokrasi, sebuah perayaan kebebasan rakyat dalam menentukan masa depan bangsa. Nyatanya, Munisipalisme Libertarian memandang bahwa demokrasi perwakilan hanyalah permainan elite untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Para politisi dengan wajah tersenyum dalam poster kampanye adalah bayangan dari kekuasaan korporasi besar yang mendanai mereka.

Fenomena Pilkada langsung di berbagai daerah di Indonesia, misalnya, sering dianggap sebagai pencapaian besar dalam desentralisasi kekuasaan dan partisipasi politik lokal. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sungguh mengecewakan. Para calon kepala daerah yang berkompetisi dalam Pilkada tak lebih dari figur boneka yang didanai oleh kelompok-kelompok elit lokal, sementara rakyat hanya menjadi alat legitimasi bagi sebuah permainan kekuasaan yang sudah ditentukan hasilnya.

Data statistik Pilkada 2020 menunjukkan bahwa hanya 60% lebih sedikit partisipasi pemilih dibandingkan harapan awal. Hal ini menandakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem. Bukankah angka ini menggambarkan bahwa "demokrasi" yang dipraktikkan justru menjauhkan rakyat dari pengambilan keputusan nyata? Di sinilah kritik Munisipalisme Libertarian menjadi sangat relevan.

Demokrasi representatif di Indonesia seringkali dipromosikan sebagai manifestasi kedaulatan rakyat. Namun, realitas politik menunjukkan adanya jarak yang signifikan antara elite politik dan rakyat. Seperti yang dikemukakan oleh Michels (1911) dalam "Hukum Besi Oligarki", organisasi demokratis cenderung mengarah pada oligarki, di mana segelintir elite mengendalikan kekuasaan.

Pemilu dan Pilpres di Indonesia seringkali menjadi ajang bagi partai politik untuk merebut kekuasaan, bukan untuk mewakili kepentingan rakyat. Partai politik berfungsi lebih sebagai mesin elektoral daripada sebagai wadah aspirasi rakyat (Aspinall, 2014). Kandidat yang diusung seringkali ditentukan oleh kekuatan modal dan koneksi politik, bukan oleh kapasitas dan integritas.

 

Munisipalisme Libertarian: Sebuah Alternatif?

Dari perspektif filsafat politik, Munisipalisme Libertarian memandang bahwa negara adalah instrumen kekuasaan yang secara inheren terpisah dari rakyat. Sebagaimana dikemukakan oleh filsuf politik, Murray Bookchin, yang menjadi tokoh kunci Munisipalisme Libertarian, negara dibangun atas dasar kekuasaan, hierarki, dan dominasi. Ia bukanlah cerminan kehendak rakyat, melainkan cerminan elit yang mendominasi rakyat. Negara secara struktural dan profesional terpisah dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Negara, dalam pandangan Munisipalisme Libertarian, pada hakikatnya tidak demokratis, karena rakyat tidak dapat benar-benar berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Di Indonesia, model kenegaraan ini sangat jelas terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang sering kali ditentukan di ruang-ruang tertutup para elit politik dan oligarki ekonomi, jauh dari jangkauan dan pengawasan rakyat. Apakah benar Pilkada 2024 nanti akan membawa perubahan besar? Atau hanya memperkuat dominasi oligarki yang sama?

Munisipalisme libertarian menekankan pada demokrasi langsung di tingkat lokal, di mana warga secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan melalui pertemuan tatap muka (Bookchin, 1995). Ini berbeda dengan sistem representatif yang memisahkan rakyat dari proses politik.

Dalam konteks Indonesia, implementasi munisipalisme libertarian menghadapi tantangan struktural dan kultural. Sentralisasi kekuasaan dan budaya patronase politik menghambat partisipasi warga secara langsung. Namun, gerakan-gerakan masyarakat sipil dan inisiatif lokal menunjukkan potensi bagi demokrasi partisipatoris (Wahid, 2018).

 

Pilkada: Peluang dan Hambatan

Di Indonesia, setiap momentum politik, baik itu Pemilu, Pilpres, maupun Pilkada, selalu menjadi ajang perebutan kekuasaan antara elit politik. Munisipalisme Libertarian akan dengan sinis menertawakan klaim bahwa sistem politik kita demokratis. Bagaimana mungkin ketika mayoritas keputusan penting tetap diputuskan oleh segelintir orang di Jakarta, sementara rakyat di daerah hanya menjadi penonton?

Contoh konkret dapat dilihat dalam kebijakan sentralisasi yang terus berlanjut. Bahkan di daerah-daerah yang memiliki kewenangan otonomi lebih besar, keputusan-keputusan strategis yang benar-benar menguntungkan masyarakat masih kerap kali dipengaruhi oleh kepentingan pusat. Pemilu atau Pilkada hanyalah mekanisme legal yang memperkuat kekuasaan mereka yang sudah berada di puncak piramida kekuasaan.

Ambil saja contoh pilkada di Sumatera Barat, tempat di mana oligarki lokal telah mengakar kuat. Para kandidat biasanya didukung oleh jaringan patron-klien yang berhubungan langsung dengan pengusaha besar atau politisi nasional. Bukankah ini menunjukkan bahwa kekuasaan terpusat hanya pindah dari Jakarta ke oligarki lokal? Rakyat tidak lebih dari pion dalam permainan kekuasaan.

Pilkada sebagai bentuk desentralisasi politik seharusnya membuka ruang bagi partisipasi warga. Namun, praktik politik uang dan dinasti politik seringkali mendistorsi tujuan tersebut (Hadiz, 2010). Kandidat kepala daerah lebih sibuk membangun koalisi dengan elite lokal daripada mendengarkan aspirasi warga.

Munisipalisme libertarian menawarkan solusi dengan mengembalikan pengambilan keputusan ke tangan warga melalui dewan-dewan lokal yang independen. Ini memerlukan perubahan struktural dan kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat.

Dari sudut pandang filsafat kekuasaan, Michel Foucault, dalam analisisnya tentang otoritas, menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya ada di negara, tetapi meresap dalam jaringan-jaringan sosial yang tersebar di seluruh masyarakat. Inilah yang kita lihat dalam politik Indonesia, di mana kekuasaan oligarki tidak hanya dikonsentrasikan di tingkat negara, tetapi juga menyusup ke setiap sendi kehidupan sosial, mulai dari tingkat nasional hingga lokal.

Munisipalisme Libertarian menawarkan jalan keluar melalui model demokrasi langsung yang berbasis pada komunitas. Namun, di Indonesia, komunitas-komunitas tersebut kerap kali terbelah oleh kepentingan politik, agama, atau ekonomi. Bagaimana Munisipalisme Libertarian bisa diimplementasikan dalam masyarakat yang sudah terbiasa dengan budaya patronase dan clientelism?

 

Sarkasme Demokrasi Elektoral

Negara, menurut pandangan munisipalisme libertarian, merupakan instrumen dominasi yang terpisah dari rakyat. Weber (1919) mendefinisikan negara sebagai entitas yang memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah. Dalam praktiknya, negara seringkali menggunakan kekuasaan ini untuk mempertahankan status quo dan kepentingan elite.

Di Indonesia, aparat negara seringkali terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi (Transparency International, 2020). Ini menunjukkan adanya disfungsi dalam sistem kenegaraan yang seharusnya melayani rakyat.

Jika demokrasi representatif dianggap sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", maka realitas di Indonesia mungkin lebih cocok disebut sebagai "pemerintahan dari elite, oleh elite, dan untuk elite". Pemilu menjadi ritual lima tahunan yang lebih mirip festival popularitas daripada mekanisme akuntabilitas.

Warga dihadapkan pada pilihan antara kandidat yang menawarkan janji manis tetapi minim realisasi. Setelah terpilih, politisi seringkali lupa akan konstituennya dan lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Munisipalisme Libertarian memberikan kritik yang tajam terhadap realitas politik Indonesia. Dalam konteks Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, sistem politik kita tidak lebih dari panggung teater yang diskenariokan oleh aktor-aktor oligarki. Rakyat hanya diminta untuk berperan sebagai penonton yang memberikan tepuk tangan pada akhir pertunjukan. Partisipasi mereka terbatas pada satu hari dalam lima tahun, ketika mereka memberikan suara dalam kotak suara.

Namun, Munisipalisme Libertarian juga memberikan harapan: bahwa demokrasi sejati mungkin ada di luar sistem perwakilan yang korup ini. Mungkin suatu saat nanti, masyarakat Indonesia akan menemukan jalan untuk membangun komunitas-komunitas yang mandiri, di mana mereka bisa benar-benar berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan. Hingga saat itu tiba, kita hanya bisa berharap, atau mungkin, seperti yang dilakukan oleh Munisipalisme Libertarian, kita harus menolak ilusi demokrasi yang dipertontonkan kepada kita.

 

Filosofi Partisipasi dan Kedaulatan Rakyat

Filsuf politik seperti Rousseau (1762) menekankan pentingnya kehendak umum (general will) yang hanya dapat dicapai melalui partisipasi langsung warga. Munisipalisme libertarian sejalan dengan pandangan ini, menekankan bahwa kedaulatan sejati hanya dapat terwujud jika rakyat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.

Di Indonesia, revitalisasi budaya musyawarah dan gotong royong dapat menjadi landasan bagi implementasi munisipalisme libertarian. Namun, ini memerlukan perubahan paradigma dari masyarakat yang cenderung pasif menjadi lebih proaktif.

Menurut data BPS (2020), partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 mencapai 81%, angka yang cukup tinggi. Namun, tingginya partisipasi tidak serta-merta mencerminkan kualitas demokrasi. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan stagnasi dalam aspek kebebasan sipil dan partisipasi politik (BPS, 2020).

Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terus meningkat, dengan 119 kepala daerah terjerat kasus korupsi antara 2004-2019 (KPK, 2019). Ini menunjukkan bahwa desentralisasi melalui Pilkada belum mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

 

Kontekstualisasi Munisipalisme Libertarian di Indonesia

Implementasi munisipalisme libertarian di Indonesia memerlukan pendekatan yang kontekstual. Mengingat keragaman budaya dan struktur sosial, pendekatan satu ukuran untuk semua tidak akan efektif.

Inisiatif seperti pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dapat menjadi embrio bagi demokrasi partisipatoris (Antlov, 2003). Namun, partisipasi warga seringkali bersifat formalitas dan tidak mempengaruhi keputusan akhir.

Mengkritik sistem politik bukan berarti menolak seluruh capaian yang telah diraih. Sebaliknya, kritik yang elegan bertujuan untuk mendorong perbaikan dan refleksi kolektif.

Munisipalisme libertarian menawarkan perspektif yang segar dan menantang. Meskipun implementasinya tidak mudah, diskursus ini penting untuk memperkaya wacana demokrasi di Indonesia.

Munisipalisme libertarian memberikan kritik tajam terhadap demokrasi representatif dan menawarkan alternatif berupa demokrasi langsung dan partisipasi warga. Dalam konteks Indonesia, tantangan struktural dan kultural menghambat implementasi teori ini. Namun, melalui refleksi kritis dan perubahan paradigma, ada peluang untuk menghidupkan kembali makna sejati dari kedaulatan rakyat.

 

Referensi

  • Antlov, H. (2003). Village government and rural development in Indonesia: The new democratic framework. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(2), 193-214.
  • Aspinall, E. (2014). Indonesia's democracy dilemma. Journal of Democracy, 25(3), 104-118.
  • Bookchin, M. (1995). From urbanization to cities: Toward a new politics of citizenship. London: Cassell.
  • BPS. (2020). Indeks Demokrasi Indonesia 2019. Badan Pusat Statistik.
  • Hadiz, V. R. (2010). Localising power in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford University Press.
  • KPK. (2019). Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi 2019. Komisi Pemberantasan Korupsi.
  • Michels, R. (1911). Political parties: A sociological study of the oligarchical tendencies of modern democracy. New York: Free Press.
  • Rousseau, J.-J. (1762). The social contract. Paris.
  • Transparency International. (2020). Corruption Perceptions Index 2019.
  • Wahid, A. H. (2018). Civil society and democratization in Indonesia: The case of NGOs. Journal of Contemporary Asia, 48(1), 1-19.
  • Weber, M. (1919). Politics as a vocation. Munich.