Oleh: Dr. Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si. (Dosen HI FISIP UNAND)
Paulo Freire (1921–1997) adalah pendidik dan filsuf asal Brasil yang mengembangkan konsep pendidikan kritis. Ia mengkritik pendidikan tradisional sebagai alat penindasan dan mendorong pendidikan dialogis yang membebaskan. Pemikirannya tentang kesadaran kritis, dialog, dan pemberdayaan sangat mempengaruhi gerakan sosial di seluruh dunia. Freire menjadi salah satu tokoh utama dalam bidang pendidikan kritis dan dipandang sebagai pemikir yang sangat berpengaruh dalam mendorong perubahan sosial melalui pendidikan. Karya-karya utamanya (1) Pedagogy of the Oppressed (1970); (2) Education for Critical Consciousness (1974); (3) The Politics of Education (1985); (4) Pedagogy of Hope (1994).
Isi Buku “Pendidikan Kaum Tertindas”
Pendidikan Kaum Tertindas berfokus pada gagasan bahwa pendidikan bisa menjadi alat untuk pembebasan atau penindasan, tergantung pada bagaimana pendidikan dirancang dan diterapkan. Freire mengkritik model pendidikan tradisional yang disebutnya sebagai "banking education" (pendidikan gaya bank), guru bertindak sebagai otoritas tunggal yang "mengisi" siswa dengan pengetahuan. Menurutnya, pendidikan harus melibatkan dialog aktif antara guru dan siswa, menciptakan hubungan setara dan membangun kesadaran kritis—kemampuan memahami realitas sosial dan menantang struktur kekuasaan yang menindas. Freire mengeksplorasi hubungan antara penindas dan tertindas, serta peran pendidikan dalam membantu kaum tertindas menyadari situasi kondisi dan menjadi agen perubahan. Buku ini menekankan pentingnya humanisasi, pendidikan yang membebaskan membantu siswa menjadi subjek dalam masyarakat, bukan objek pasif.
Kritik terhadap Buku “Pendidikan Kaum Tertindas”
Kritik utamanya adalah konsep kesadaran kritis terlalu abstrak dan sulit diimplementasikan dalam praktik pendidikan nyata, terutama dalam konteks pendidikan formal yang kaku. Pendekatan Freire yang fokus pada dikotomi penindas-tertindas dianggap menyederhanakan kompleksitas hubungan kekuasaan dalam masyarakat, yang seringkali lebih dinamis dan berlapis. Freire dikritik karena kurang memperhatikan bentuk penindasan lain, seperti gender dan ras. Kritikus feminis menilai Freire terlalu terfokus pada isu kelas sosial, tanpa mempertimbangkan dimensi interseksional dari penindasan. Gaya bahasa Freire yang kompleks dianggap menyulitkan pemahaman dan menghambat implementasi ide-idenya dalam praktik pendidikan sehari-hari. Terakhir, penerapan gagasan Freire di negara maju kurang relevan karena bentuk penindasannya berbeda dengan di negara berkembang.
Relevansi bagi (Gerakan Mahasiswa) Indonesia?
Pemikiran Freire sangat relevan bagi Indonesia kontemporer, terutama dalam menghadapi ketimpangan pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan demokrasi. Pendidikan partisipatoris Freire bisa diterapkan untuk mengatasi ketimpangan akses pendidikan, terutama di wilayah terpencil, dan mempromosikan kesadaran kritis di masyarakat. Gagasan ini juga dapat digunakan untuk pendidikan keadilan sosial, pemberdayaan perempuan, serta melawan diskriminasi etnis. Selain itu, Freirean education dapat memperkuat demokrasi dengan membantu warga negara menjadi lebih kritis, aktif, dan partisipatif dalam proses demokrasi, meskipun tantangan dalam implementasi tetap ada.
Gerakan mahasiswa di Indonesia bisa mengambil inspirasi dari pemikiran Freire. Mahasiswa perlu menciptakan ruang-ruang diskusi partisipatoris di mana semua pihak dapat berkontribusi secara setara. Inspirasi dari pendidikan dialogis Freire harus diterapkan melalui forum diskusi terbuka, kajian kolektif, dan debat yang melibatkan berbagai kelompok, termasuk masyarakat akar rumput. Mahasiswa harus terus memperjuangkan keadilan sosial dengan fokus pada ketidakadilan yang dialami kelompok tertindas, seperti buruh, petani, dan masyarakat miskin. Inspirasi Freire tentang perjuangan melawan penindasan harus diterapkan dengan aksi yang terorganisir, seperti demonstrasi, advokasi kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat.
Mahasiswa harus memperjuangkan reformasi pendidikan yang lebih demokratis dan partisipatoris, menolak sistem banking education yang pasif. Mereka bisa menuntut sistem yang lebih mendukung pemikiran kritis, dialog, dan kolaborasi antara dosen dan mahasiswa. Dalam era digital, mahasiswa perlu memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk memperluas jangkauan kesadaran kritis dan membangun solidaritas. Platform digital bisa digunakan untuk menyebarkan informasi, mengorganisir gerakan, serta menggalang dukungan publik. Mahasiswa harus menerapkan kesadaran kritis dalam aksi sosial, memperkuat dialektika, dan memaksimalkan pengunaan teknologi untuk perubahan sosial global.
Daftar Pustaka:
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Giroux, H. A. (2010). Rethinking Education as the Practice of Freedom: Paulo Freire and the Promise of Critical Pedagogy. Policy Futures in Education, 8(6), 715-721.
Mayo, P. (1999). Gramsci, Freire, and Adult Education: Possibilities for Transformative Action. London: Zed Books.
McLaren, P. (2000). Che Guevara, Paulo Freire, and the Pedagogy of Revolution. Lanham: Rowman & Littlefield.
Shor, I. (1987). Freire for the Classroom: A Sourcebook for Liberatory Teaching. Portsmouth: Heinemann.
Hooks, B. (1994). Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom. New York: Routledge.
Torres, C. A. (2014). Paulo Freire and the Dialectics of Education. In D. Hill (Ed.), Social Class and Education: Global Perspectives (pp. 95-110). Abingdon: Routledge.