Neoliberalisasi Pendidikan: Dari Hak Asasi Menjadi Komoditas, Mahasiswa Penting Bersatu dan Berjuang!

Oleh: Fiqri Hidayat (Presiden BEM NM Fakultas Hukum Universitas Andalas 2023/2024)

Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah menyaksikan transformasi yang mencolok dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak asasi setiap individu, kini semakin dipandang sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Fenomena ini tidak hanya merugikan pelajar sebut saja kita mahasiswa, tetapi juga mengancam masa depan bangsa kita.

Sebagaimana aspirasi negara dalam Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia menyatakan cita-cita luhurnya untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, turut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Perwujudan dari tujuan luhur tersebut, perlu melihat kembali ide-ide luhur yang telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Beliau tidak hanya mencetuskan sistem “Among” dengan trilogi kepemimpinanya sebagai konsepsi pendidikan di Indonesia yaitu, “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani” kemudian memperkenalkan konsepsi “Tri Pusat Pendidikan” sebagai dasar tanggung jawab penyelenggara pendidikan terdiri dari orang tua, sekolah dan masyarakat. Hal ini menjadi faktor penentu suksesnya pendidikan.

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada setiap diri manusia. Pendidikan sesuai dengan kodratinya adalah dapat memajukan kehidupan bangsa. Sederhanya, Pendidikan adalah sebuah usaha dalam menghantarkan manusia dalam menemukan pribadinya sendiri.

Pendidikan selain sebagai suatu pembentuk watak atau kepribadian juga mempersiapkan sumber daya manusia yang handal serta dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan berpengaruh terhadap kehidupan suatu bangsa untuk masuk dan memperoleh dampak-dampak yang ditimbulkan arus globalisasi.

Dampak yang ditimbulkan arus globalisasi tersebut telah melanda di bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia pada khususnya, baik bidang sosial, agama, politik, ekonomi, budaya bahkan dalam bidang pendidikan. Pendidikan di saat ini telah terjebak dalam arus kapitalisasi yang dalam istilah lain bernama komersialisasi pendidikan.

Padahal dalam proses globalisasi tersebut dapat menyatukan kehidupan umat manusia. Masyarakat merupakan salah satu pemegang hak maka tujuan lembaga-lembaga pendidikan harus pula menampung yang diinginkan oleh masyarakat dan bukan hanya menampung yang diinginkan oleh birokrasi.

Pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-21 telah memasuki era baru. Jika sebelumnya sektor pendidikan dikerangkeng oleh rezim Soeharto, pada era reformasi kerangkeng itu dilepas. Sektor pendidikan saat ini memasuki era yang disebut sebagai “Neoliberalisasi Pendidikan”. Permasalahan pendidikan mahal yang seolah tidak ada ujungnya salah satunya disebabkan oleh adanya Neoliberalisme.

Neoliberalisasi pendidikan munculkan masalah baru yang cukup pelik dan kompleks. Sebelumnya kegiatan penelitian, pengabdian, dan pengajaran (tri dharma perguruan tinggi) didikte dan di-screening oleh rezim birokrasi Orde Baru. Di era liberalisasi pendidikan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dicengkeram oleh mekanisme pasar dan kepentingan penguasa, pengusaha sebut saja sipemilik modal dan sipelaku usaha.

Pendidikan dipengaruhi oleh keadaan ekonomi yang akhirnya akan berdampak pada pekerjaan individu serta motivasi pendidikan generasi muda, Status sosial ekonomi seseorang sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Menurut penelitian dinyatakan bahwa 30,15% minat seseorang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarganya dan juga dinyatakan bahwa sebanyak 35,42% ada pengaruh antara status sosial ekonomi keluarga terhadap minat melanjutkan ke perguruan tinggi.

Indonesia sudah mencanangkan pendidikan menjadi hak dari setiap warga negaranya. Hal ini ditunjukan pada bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Konsep pendidikan perlu pergeseran dalam paradigma dengan asumsi sebagai sebuah investasi yang digambarkan sebagai intervensi kekuatan ekonomi (education as investement) membentuk kesadaran yang diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth) harus pula dibangun dan dikembangkan dari sebuah struktur dan sistem ekonomi yang mendukung munculnya pendidikan berkualitas.

Di Indonesia pendidikan mahal menjadi salah satu isu yang tidak ada habisnya di dalam tubuh gerakan mahasiswa. Hal ini disebabkan oleh permasalahan pendidikan yang makin memburuk tiap tahunnya. Mulai dari nihilnya transparansi keuangan kampus sampai ketidakjelasan kebijakan biaya kuliah. Parahnya lagi adanya pendidikan yang tidak murah berakibat pada banyaknya anak yang berasal dari kelas ekonomi bawah sulit mendapatkan akses pendidikan yang lebih bermutu.

Hal ini dapat terjadi karena Institusi pendidikan menerapkan aturan seperti pasar yang berimplikasi pada visiologis pendidikan yang keliru. Keberhasilan pendidikan hanya didasari pada besarnya jumlah lulusan yang diserap oleh sektor industri. Hal ini menjadikan pendidikan tidak lagi untuk menjadikan manusia-manusia melek sosial. Padahal sebetulnya pendidikan itu merawat tradisi intelektual sebagai sarana memanusiakan-manusia.

Berdasarkan teori pendidikan pembebasan Paulo Freire dibangun atas dasar pemikiran paradigmatik pendidikan sebagai proses humanisasi, yaitu upaya memanusiakan-manusia. Teori-teori tersebut menjelaskan secara ontologis bahwa sistem pendidikan gaya bank merupakan bentuk dehumanisasi yang harus digantikan dengan pendidikan berbasis problem. Oleh karena itu, secara epistemologis pendidikan ini berusaha menciptakan pengetahuan secara bersama antara guru dan murid atau dosen dan mahasiswa. Adapun secara aksiologis, pendidikan pembebasan ini merupakan pendidikan kritis yang harus mengubah realitas dunia.

Proses memanusiakan-manusia dalam pendidikan dianggap sebagai rangkaian proses pemberdayaan potensi dan kompetensi individu untuk menjadi manusia berdaya yang berkualitas sepanjang hayat. Pendidikan mampu mengangkat kehidupan manusia ke dalam kelas sosial yang lebih tinggi seperti yang diungkapkan oleh Clark yang menyatakan bahwa pendidikan dapat dipergunakan untuk membantu penduduk dalam meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi melalui usaha mereka sendiri.

Regulasi Sistem Pendidikan Berujung Kepada Komoditas

Berdasarkan realita yang terjadi. Regulasi yang mengatur UKT Kembali mengalami perubahan melalui Permendikbud Nomor 55 Tahun 2020 dan terakhir melalui Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Keadaan dilapangan memperlihatkan bahwa minimnya akses pendidikan bagi masyarakat tidak juga membuat pemerintah melakukan perbaikan. Alih alih melakukan perbaikan, melalui perubahan regulasi pemerintah justru terus melakukan akrobat untuk menaikkan biaya pendidikan melalui berbagai cara, misalnya memberikan kewenangan otonomi yang begitu luas kepada PTN untuk menetapkan tarif uang kuliah.

 

Berdasarkan pengaturan kewenangan pimpinan PTN, terdapat perubahan pengaturan delegasi kewenangan oleh Menteri kepada Perguruan Tinggi. Sejak pertama kali UKT diberlakukan, Pimpinan PTN tidak diberi kewenangan untuk menetapkan tarif, kewenangannya hanya sebatas pada pengusulan tarif UKT, akan tetapi pada aturan terlahir (Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024) Pimpinan PTN (baik PTN BLU atau Badan Hukum) memiliki kewenangan lebih untuk menetapkan tarif UKT sampai dengan memberlakukan Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Bahkan, telah terbukti bagaimana setiap tahunnya tarif uang kuliah terus mengalami kenaikan yang signifikan.

 

Hal itu terwujud melalui otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang semakin luas dan bergantung kepada mekanisme pasar. Liberalisasi pendidikan telah menempatkan kampus tidak lagi sebagai sektor publik yang ditanggung pemerintah. Melalui mekanisme PTN-BH, kampus diberi otonomi pengelolaan keuangan sekaligus menjadi medan bisnis baru. Hasil dari PTN-BH adalah lahirnya beton-beton yang menjulang tinggi, seperti Pertamina Tower, Gedung Sinar Mas, atau Mushola Mandiri Syariah.

 

Efek dalam kasus ini, contohnya kita dapat  mengamati, bahwa institusi pendidikan lebih fokus pada pemasaran dan branding daripada kualitas pendidikan yang mereka tawarkan. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang hanya berfungsi sebagai alat untuk menghasilkan keuntungan?, Selain itu peningkatan kuota jumlah mahasiswa baru semakin bertambah hal ini menandakan bahwa kampus terindikasi untuk menggali keuntungan dari tarif UKT yang ditetapkan, akibatnya berefek buruk pada tingkat kualitas pendidikan itu sendiri.

 

Sejak diberlakukannya UKT melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2013 sampai dengan Permenristekdikbud No.2 Tahun 2024 tarif UKT kenaikan uang kuliah dilakukan dengan skema penambahan level/kelompok, dan kenaikan nominal di setiap kelompokya. Pada 2013, masih terdapat level/kelompok I yang tarifnya Rp.0, akan tetapi pada 2024 Menteri telah menetapkan tarif minimal Rp.500.000,- pada setiap PTN. Hal ini tentu menutup akses bagi mahasiswa atau masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu untuk menunjang kebutuhan akses pendidikan tersebut.

 

Kenaikan UKT dapat membatasi akses mahasiswa kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan, yang bertentangan dengan prinsip aksesibilitas pendidikan yang dijamin oleh konstitusi. Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa "Pendidikan adalah hak setiap warga negara untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik secara spiritual, intelektual, maupun sosial." Pasal ini menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga tak heran mahasiswa dan masyarakat sering melakukan protes terkait pembatalan kenaikan UKT, menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan aspirasi negara termasuk masyarakat.

Sebagaimana adanya komersialisasi pendidikan telah mengantarkan pendidikan sebagai instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat. Komersialisasi pendidikan senyatanya menjadikan keadaan pendidikan lebih diorientasikan kepada praktik pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang siap mem-supplay pasar industri dan diukur secara ekonomis. Pendidikan menjadi hal yang eksklusif dan jauh dari masyarakat umum bahkan hanya bisa dirasakan oleh kalangan tertentu (elit penguasa).  Hal ini dapat diasumsikan bahwa pemerintah sebagai pengusaha, kampus sebagai media perusahaan, dan mahasiswa sebagai modal yang akan dipersiapkan untuk diperjualbelikan pada pasar yang membutuhkan tenaga kerja.

Faktanya jika melihat situasi dan kondisi yang terjadi terlihat bahwa komersialisasi pendidikan dianggap sebagai misi dari lembaga pendidikan modern untuk mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Akibatnya pendidikan yang humanisasi tidak tercapai dalam proses pendidikan karena adanya komersialisasi pendidikan. Menurut Satriyo Brojonegoro hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal untuk mengakses pendidikan. Namun, lembaga tersebut tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi pendidikan karena lembaga pendidikan memang tidak memperdagangkan pendidikan, tetapi uang pembayaran yang sangat mahal.

Pada intinya, pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, melainkan sebuah layanan yang tersedia dalam pasar yang semakin private, yang dibayar oleh para penerima manfaat langsung sebut saja para mahasiswa. Pemerintah juga mengubah pembiayaan universitas pendanaan langsung dari pemerintah secara bertahap berkurang, institusi pendidikan harus bersaing untuk mendapatkan subsidi berdasarkan permintaan (misalnya, menarik siswa sekolah menengah yang berprestasi), dan institusi pendidikan dipaksa untuk semakin mandiri dan akibatnya mulai memungut biaya.

Menakar Arah Gerakan Moral Mahasiswa

Mahasiswa merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan masyarakat dan bangsa. Memiliki peran dan fungsi yang penting dalam menghasilkan perubahan positif dan kemajuan di berbagai bidang. Mahasiswa sebagai inti dari generasi muda, mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, di samping semangat mudanya, sifat kritisnya, dan ketahanan logisnya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan.

Secara umum ada lima peran utama Mahasiswa, pertama, peran perubahan yaitu dapat melakukan perubahan bentuk-bentuk secara langsung, karena adanya sumber daya manusia yang banyak dan cukup. Mahasiswa harus memiliki kemampuan akademik dan nonakademik yang baik, serta mampu berkomunikasi yang baik terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Selain menjadi pelajar mahir diharapkan mampu mengembangkan keterampilan akademis, analitis, dan memecahkan masalah.

Kini ruh pergerakan Mahasiswa di Indonesia ternilai linglung terhadap arah geraknya sendiri. Penggerak di dalamnya hanya reaktif setiap kali melakukan pergerakan. Arah juangnya bergantung pada keributan yang ditimbulkan elit. Tuntutan bersifat reaktif dan hanya bergantung pada masalah yang sedang diributkan elit politik. Namun, logika moralis itu pada akhirnya mendegradasi gerakan Mahasiswa. Hari ini, selain tidak punya arah gerak yang jelas, gerakan Mahasiswa pun gagal mendapat simpati dari insan Mahasiswa itu sendiri. 

Terbukti, dari beberapa aksi-aksi yang dilakukan, gerakan Mahasiswa tidak bisa memobilisasi massa dalam jumlah besar, seperti yang terlihat pada aksi demonstrasi terkait penolakan putusan MK dan dinasti politik. Pada aksi tersebut, eskalasi massa yang terlibat jauh lebih sedikit dibanding aksi menolak Omnibus Law maupun ‘reformasi dikorupsi.’ logika moralis tidak bisa terus-terusan dipertahankan oleh gerakan Mahasiswa. Logika itu cenderung menciptakan jarak antara Mahasiswa dengan masalah mereka sendiri. Seolah-olah, Mahasiswa merupakan kelompok yang sepenuhnya bijak dan tidak memiliki masalah. Mengakibatkan Mahasiswa tercerabut dari basis organik pergerakannya. Mereka makin sibuk mengurus demokrasi dan segala tetek bengeknya, tetapi malah kelimpungan dengan masalah sektoralnya sendiri.

Mengamati gerakan-gerakan Mahasiswa akhir-akhir ini. Semisal demonstrasi hari-hari ini lebih ke tarung gagah-gagahan siapa yang berorasi, aksi cenderung dijadikan panggung untuk menunjukkan eksistensinya. Maka tak heran, sering kali aksi misalnya menumbalkan korban. Karena, petugas aksi yang ditugaskan sibuk menunjukkan eksistensinya tanpa terlalu memikirkan massa aksi yang lain. Bahkan saat ini trendnya adalah buat story di sosial media menggunakan foto atau video orasi ditambah dengan kata-kata idealik yang entah hasil sendiri atau buku.

Implikasi terhadap peranan Mahasiswa dibawah bayang-bayang negara juga melahirkan kebiasaan baru. Yang mulanya Mahasiswa diidentikkan dengan penggerak atau demonstran, orang-orang yang berpengaruh terhadap berubahnya kebijakan sosial politik negara, dan kini sudah beralih trend. Beberapa Mahasiswa sekarang lebih memilih sebagian besar hidupnya di kampus sebagai seorang penambang piala plastik. Tak bisa dipungkiri juga, hal ini merupakan batasan-batasan gerak Mahasiswa saat ini yang diatur oleh negara.

Idealisme sebagai prinsip dasar gerakan Mahasiswa seakan tertawan di ruang-ruang perkuliahan yang sangat mengekang. Sifat kritis sebagai senjata utama Mahasiswa dalam mengupas berbagai isu dan persoalan kebangsaan, menanggapi berbagai kebijakan pemerintah serta memperjuangkan aspirasi rakyat mulai tumpul dan berkarat.

Kendala yang dihadapi Mahasiswa di dalam gerakan tersebut yang direlevansikan dengan menuntut pendidikan murah secara historis, ada tiga komponen yang menjadi permasalahan mendasar. Pertama, permasalahan struktural seperti kebijakan kampus yang tidak cukup mengakomodasi protes mengenai pendidikan mahal. Kedua, secara kultural, permasalahan muncul karena lemahnya pengorganisasian. Lemahnya pengorganisasian terjadi sebab dominasi kelas menengah ke atas di kampus yang tidak mempermasalahkan  biaya. Sedangkan, gerakan Mahasiswa juga belum mampu untuk mengajak pihak yang berkepentingan meliputi orang tua Mahasiswa dan dosen-dosen progresif. Ketiga, pada taraf kebijakan, baik di undang-undang maupun ketentuan perguruan tinggi, tidak ada perkataan secara eksplisit bahwa biaya pendidikan harus murah. Ketentuan tersebut hanya ada di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang masih harus ditafsirkan secara lebih jauh.

Supaya dapat ditafsirkan lebih jauh perlu terjadi perombakan atau perubahan dalam gerakan Mahasiswa, maka sejarah kejayaan gerakan Mahasiswa akan tetap menjadi sejarah. Mahasiswa harus berani melakukan protes. Hal ini penting karena saat ini Mahasiswa seringkali takut untuk melakukan protes akibat banyaknya sanksi yang diberikan oleh PTN. Banyak orang melakukan protes terhadap beban biaya yang meningkat, tetapi sedikit yang mengorganisir. Protes-protes tersebut harus dikonsolidasikan sehingga kekuatannya berlipat ganda. Kemudian, gerakan Mahasiswa harus memiliki riset yang memadai tentang biaya pendidikan. Ada banyak skripsi tentang biaya pendidikan tinggi. Hal ini penting untuk dianalisis tahap demi tahap sehingga dapat menjadi bahan yang memadai untuk mendorong kebijakan pendidikan yang murah.

Selanjutnya, Mahasiswa harus melihat dampak ideologis dengan adanya pendidikan mahal ini dan konsekuensinya. Dengan penelitian dan komparasi yang ada, gerakan Mahasiswa dapat mempunyai basis yang memadai untuk berjuang. Lalu, gerakan Mahasiswa juga harus melibatkan pihak-pihak terkait. Misalnya Mahasiswa dapat mendorong lahirnya transparansi proyek-proyek PTN yang berkolaborasi dengan lembaga donor. Keterbukaan informasi ini nantinya dapat membuktikan bahwa kampus sebenarnya dapat menanggung biaya.

Berbicara permasalahan relasi kuasa di lingkungan kampus hal ini semakin hari semakin menjamur, yaitu patriarkis dan patronase. Mahasiswa seringkali diibaratkan sebagai seorang anak yang harus diasuh, diawasi, dan dikontrol. Hal ini berbahaya karena tuntutan progresif dapat ditaklukan oleh relasi ini. Struktur relasi yang buruk ini juga kemudian dipercaya oleh Mahasiswa. Hal tersebut berdampak pada gerakan Mahasiswa. Jika dulu pengorganisasian Mahasiswa jelas seperti struktur pemerintahan bagaikan miniatur negara, sekarang peta tubuh Organisasi kelembagaan Mahasiswa di kampus menjadi majemuk, dipaksa untuk berubah dan digodok menjadi satu kesatuan agar dapat dikontrol dan diawasi, bertujuan untuk sejalan dengan adanya Indikator Kinerja Utama (IKU) dari kampus itu sendiri.

Selain itu kampus juga memobilisasi Mahasiswa, misalnya mereka yang prestasinya tinggi. Ini membuat antar Mahasiswa saling bertempur dan tuntutan-tuntutan struktural tidak memiliki pintu masuk. Berdasarkan hal tersebut, Mahasiswa harus mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang ada baik dari kampus, Mahasiswa, dosen progresif, dan kelompok yang berkutat dengan isu pendidikan murah. Dengan demikian, gerakan Mahasiswa dapat menciptakan isu pendidikan mahal sebagai isu yang mendasar dan berjangka panjang.

Gerakan Mahasiswa dibesarkan sebagai kekuatan oposisi kekuasaan. Pada masa orde baru, gerakan Mahasiswa muncul karena kutub-kutub oposisi mati. Kondisinya berbeda dengan sekarang. Kekuatan jalanan mulai dari gerakan petani, buruh, dan masyarakat sipil lainnya sangat aktif dan majemuk. Oleh karena itu, gerakan Mahasiswa saat ini penting untuk fokus kepada isu-isu kampus yang dekat dengan kehidupan Mahasiswa.

Belakangan ini, isu Mahasiswa seperti kebebasan akademik, pembredelan pers, dan plagiasi oleh rektor menjadi isu nasional. Meskipun begitu, hal yang menarik adalah isu pendidikan mahal tidak menjadi isu nasional. Salah satu aspek kuncinya adalah gerakan Mahasiswa belum melihat isu ini sebagai permasalahan mendasar. Oleh karenanya, Mahasiswa harus menjadikan isu pendidikan mahal sebagai perlawanan sehari-hari.

Hal penting lainya, terkait tuntutan sepatutnya tidak harus teknokratis dan tidak harus sangat instrumental. Tuntutan ini harus dibuat sesederhana mungkin komunikasinya. Kita butuh bahasa yang lebih populer untuk mengajak semua orang agar paham. Masalahnya, Mahasiswa saat ini inginnya aksi lalu berubah seketika. Padahal, ini harus bertahap. Saat ini, tuntutannya lebih kepada proses penyadaran dan harus mengajak dulu orang-orang untuk mau terlibat di isu ini. Kalau ajakan tidak berisiko dan Mahasiswa sudah berani, baru ditanamkan ideologinya dan sadarkan kondisinya.

Banyak pemangku kepentingan kampus. yang paling mendasar adalah orang tua Mahasiswa. Potensi ini dapat diupayakan mobilisasi surat yang ditandatangani oleh para orang tua. Kalau orang tua diajak, maka simbolnya kuat seperti melawan kampus dengan simbol kekeluargaan. Kemudian Mahasiswa harus mengajak masyarakat yang lebih luas seperti sektor buruh dan sektor petani, yang selama ini dianggap Mahasiswa sebagai sektor-sektor progresif.

Dalam mengawal isu pendidikan mahal, kita dapat membuat hotline yang menerima keluhan dari orang tua Mahasiswa. Kemudian, gerakan Mahasiswa juga harus melakukan kampanye. Misalnya, kampanye yang menyadarkan bahwa para pemimpin negara saat ini dapat berhasil karena biaya pendidikan dulu murah. Penyadaran merupakan hal penting yang dilakukan Mahasiswa saat ini, baik dengan menciptakan narasi, membangun kisah, atau membuat pemberitaan.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan seharusnya tidak menjadi barang dagangan yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang yang mampu membayar. Kita perlu mengingatkan semua pihak bahwa pendidikan adalah hak asasi yang harus dijamin oleh negara. Gerakan Mahasiswa dapat menentukan kebebasan arah ruang geraknya sendiri secara rasional untuk berjuang. Bersatulah untuk memperjuangkan pendidikan yang adil dan terjangkau, agar setiap individu dapat meraih potensi terbaiknya tanpa hambatan oleh biaya yang tidak wajar. Sebab kita semua membutuhkan pendidikan sebagai hak!.